animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Rabu, 21 April 2010

Kekerasan Negara Perlu di Hapus

HAPUS KEKERASAN OLEH NEGARA

Sangat ironi sekali, di saat negeri ini sedang gegap gempita menunjukkan negara yang demokrasi, ternyata kenyataan berbanding terbalik. Ekspresi dan manifestasi tidak berjalan linier. Banyak sekali warisan dari orde baru dalam menyelesaikan masalah yang diadopsi dan terpraktekkan. terbukti akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kekerasan sebagai penghias kabar berita media masa yang dilakukan oleh aparatur negara. Peristiwa seperti ini sebenarnya tidak sepatutnya terjadi di negeri ini, karena negeri ini adalah negeri yang beradab.

Seperti halnya peristiwa di Koja yang terjadi pada hari Rabu tanggal 14 April 2010 di Tanjung Priyok, Jakarta Utara telah banyak menimbulkan kerugian. Kerugian materiil maupun kerugian imateriil. Peristiwa ini mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa berdarah puluhan tahun yang lalu. Sebut saja, peristiwa kekerasan pasca jejak pendapat di Timor-Timor 1999, tragedi trisakti, kerusuhan mei 1998, peristiwa semanggi, kriminalisasi pers dan kriminalisasi kaum miskin. Peristiwa-peristiwa di atas telah melukai hati rakyat seluruhnya. Betapa tidak, dibelakang tragedi berdarah di atas, semua itu akibat kebijakan pemerintah dalam meyelesaikan suatu masalah tanpa melihat sisi kemanusiaan. Mungkin, kekerasan yang dilakukan oleh aparatur tak akan pernah lekang oleh waktu selama rasa kemanusiaan pemerintah rendah .
Bentuk-Bentuk Kekerasan Oleh Pemerintah
Banyak sekali bentuk-bentuk premanisme yang dilakukan oleh aparatur Negara seperti peristiwa yang terjadi pada Januari-April 2009, tepatnya pada hari Kamis, 30 April 2009, ratusan tentara di batalyon 751 Sentani mengamuk dan melempari markas para jurnalis. Empat jurnalis dianiaya. Merampas kamera dan mengejar para jurnalis. Kebrutalan polisi pun tak luput dari sorotan masyarakat. Di Serang, (Rabu, 25 Maret 2009) seorang anggota Polres Cilegon, Brigadir Dua Cita Citra Illahi melakukan penganiayaan terhadap satpam Pengadilan Negeri Serang yang sedang bertugas. Kejadian ini merupakan hanya sebuah gunung es yang setiap saat siap mencair, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan contoh kecil dari sekian banyaknya kasus yang belum terungkap.

Dan sekarang kabar yang masih hangat, kekerasan oleh Aparatur Negara terhadap sipil terjadi di Koja, Tanjung Priyok Jakarta Utara, yang mengakibatkan terbunuhnya waga sipil, tiga anggota Satpol PP ( Satuan Polisi Pamong Praja) dan seratus orang luka-luka. Di lain pihak, DPRD DKI Jakarta telah menggalang penggunaan hak interpelasi; mengatakan bahwa,” Satpol PP sudah menyalahi prosedur dalam melaksanakan tugasnya”, brutal seperti preman. Terlepas dari brutalnya para Satpol PP, mereka melakukan itu karena semata-mata menjalankan tugas pimpinan. Jadi apa yang dikatakan oleh DPRD DKI Jakarta seakan-akan tidak mau disalahkan dan menimpakan kesalahan seluruhnya kepada anggota Satpol PP, hal ini tidak dibenarkan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Oleh Negara
Melihat beberapa peristiwa berdarah yang terjadi, bisa dikatakan bahwa kejadian tersebut adalah sebuah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh pemerintah terhadap kaum lemah. Para ahli mendefinisikan bahwa pelanggaran HAM sebagai suatu pelanggaran terhadap kewajiban Negara yang lahir dari instrumen-insrumen nasional dari Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (act of commision) maupun karena kelalaiannya sendiri (act of ommision).
Sebenarnya, pemerintah telah meratifikasi beberapa konvenan HAM, diantaranya adalah Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan UU No. 11 tahun 2005. Serta Konvenan Hak Sipil dan Politik dengan UU no. 12 tahun 2005. Tetapi wujud dari kepatuhan terhadap peraturan-peraturan tersebut, Namun pada kenyataannya masih memprihatinkan. Padahal untuk memperbaiki kondisi penegakan HAM, tertuang dalam Keppres No. 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM.

Meskipun megeri ini telah memasuki era Reformasi, masih banyak sekali pelanggaran HAM dengan bentuk kekerasan. Hal ini karena pertama, terus berlanjutnya aksi-aksi kekerasan aparat keamanan (TNI-POLRI) yang berujung pada timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM kepada kasus brutalitas polisi yang terjadi di erbagai tempat. Ini menunjukkan rendahnya profesionalisme aparat keamanan dalam menjalankan tugas. Kedua, kegagalan pemerintah dalam membina para aparat keamanan negara. Dari sebab itu semua, yang dirugikan adalah masyarakat sipil dan aparat yang menjalankan tugas. Ketiga, banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang asal-asalan sehingga terjadi bentrokan kepentingan antara masyarakat sipil dan negara.

Pada dasarnya, segala kekerasan adalah penindasan dan tidak dibenarkan oleh sisi agama dan kemanusiaan. Apalagi yang melakukan kekerasan adalah aparatur negara yang sayogyanya sebagai pengayom masyarakat, sungguh sangat ironi sekali. Maka dari itu, meskipun kekerasan tidak akan pernah hilang dan tidak pernah musnah dari kehidupan, kekerasan harus diminimalisir. Adanya sebuah dialog keterbukaan dengan bahasa yang mudah dipahami serta kesadaran bersama yang tinggi adalah sebuah cara yang tepat dalam menghapus kekerasan. Sungguh menyenangkan seandainya negeri ini mampu mengaplikasikan ajaran Ahimsa (paham pantang kekerasan) Mahatma Ghandi dan konsep kasih sayang yang dibawa oleh Nabi Isa AS. Betapa indahnya hidup tanpa kekerasan.s
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
HAPUS KEKERASAN OLEH NEGARA

Sangat ironi sekali, di saat negeri ini sedang gegap gempita menunjukkan negara yang demokrasi, ternyata kenyataan berbanding terbalik. Ekspresi dan manifestasi tidak berjalan linier. Banyak sekali warisan dari orde baru dalam menyelesaikan masalah yang diadopsi dan terpraktekkan. terbukti akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kekerasan sebagai penghias kabar berita media masa yang dilakukan oleh aparatur negara. Peristiwa seperti ini sebenarnya tidak sepatutnya terjadi di negeri ini, karena negeri ini adalah negeri yang beradab.

Seperti halnya peristiwa di Koja yang terjadi pada hari Rabu tanggal 14 April 2010 di Tanjung Priyok, Jakarta Utara telah banyak menimbulkan kerugian. Kerugian materiil maupun kerugian imateriil. Peristiwa ini mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa berdarah puluhan tahun yang lalu. Sebut saja, peristiwa kekerasan pasca jejak pendapat di Timor-Timor 1999, tragedi trisakti, kerusuhan mei 1998, peristiwa semanggi, kriminalisasi pers dan kriminalisasi kaum miskin. Peristiwa-peristiwa di atas telah melukai hati rakyat seluruhnya. Betapa tidak, dibelakang tragedi berdarah di atas, semua itu akibat kebijakan pemerintah dalam meyelesaikan suatu masalah tanpa melihat sisi kemanusiaan. Mungkin, kekerasan yang dilakukan oleh aparatur tak akan pernah lekang oleh waktu selama rasa kemanusiaan pemerintah rendah .
Bentuk-Bentuk Kekerasan Oleh Pemerintah
Banyak sekali bentuk-bentuk premanisme yang dilakukan oleh aparatur Negara seperti peristiwa yang terjadi pada Januari-April 2009, tepatnya pada hari Kamis, 30 April 2009, ratusan tentara di batalyon 751 Sentani mengamuk dan melempari markas para jurnalis. Empat jurnalis dianiaya. Merampas kamera dan mengejar para jurnalis. Kebrutalan polisi pun tak luput dari sorotan masyarakat. Di Serang, (Rabu, 25 Maret 2009) seorang anggota Polres Cilegon, Brigadir Dua Cita Citra Illahi melakukan penganiayaan terhadap satpam Pengadilan Negeri Serang yang sedang bertugas. Kejadian ini merupakan hanya sebuah gunung es yang setiap saat siap mencair, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan contoh kecil dari sekian banyaknya kasus yang belum terungkap.

Dan sekarang kabar yang masih hangat, kekerasan oleh Aparatur Negara terhadap sipil terjadi di Koja, Tanjung Priyok Jakarta Utara, yang mengakibatkan terbunuhnya waga sipil, tiga anggota Satpol PP ( Satuan Polisi Pamong Praja) dan seratus orang luka-luka. Di lain pihak, DPRD DKI Jakarta telah menggalang penggunaan hak interpelasi; mengatakan bahwa,” Satpol PP sudah menyalahi prosedur dalam melaksanakan tugasnya”, brutal seperti preman. Terlepas dari brutalnya para Satpol PP, mereka melakukan itu karena semata-mata menjalankan tugas pimpinan. Jadi apa yang dikatakan oleh DPRD DKI Jakarta seakan-akan tidak mau disalahkan dan menimpakan kesalahan seluruhnya kepada anggota Satpol PP, hal ini tidak dibenarkan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Oleh Negara
Melihat beberapa peristiwa berdarah yang terjadi, bisa dikatakan bahwa kejadian tersebut adalah sebuah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh pemerintah terhadap kaum lemah. Para ahli mendefinisikan bahwa pelanggaran HAM sebagai suatu pelanggaran terhadap kewajiban Negara yang lahir dari instrumen-insrumen nasional dari Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (act of commision) maupun karena kelalaiannya sendiri (act of ommision).
Sebenarnya, pemerintah telah meratifikasi beberapa konvenan HAM, diantaranya adalah Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan UU No. 11 tahun 2005. Serta Konvenan Hak Sipil dan Politik dengan UU no. 12 tahun 2005. Tetapi wujud dari kepatuhan terhadap peraturan-peraturan tersebut, Namun pada kenyataannya masih memprihatinkan. Padahal untuk memperbaiki kondisi penegakan HAM, tertuang dalam Keppres No. 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM.

Meskipun megeri ini telah memasuki era Reformasi, masih banyak sekali pelanggaran HAM dengan bentuk kekerasan. Hal ini karena pertama, terus berlanjutnya aksi-aksi kekerasan aparat keamanan (TNI-POLRI) yang berujung pada timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM kepada kasus brutalitas polisi yang terjadi di erbagai tempat. Ini menunjukkan rendahnya profesionalisme aparat keamanan dalam menjalankan tugas. Kedua, kegagalan pemerintah dalam membina para aparat keamanan negara. Dari sebab itu semua, yang dirugikan adalah masyarakat sipil dan aparat yang menjalankan tugas. Ketiga, banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang asal-asalan sehingga terjadi bentrokan kepentingan antara masyarakat sipil dan negara.

Pada dasarnya, segala kekerasan adalah penindasan dan tidak dibenarkan oleh sisi agama dan kemanusiaan. Apalagi yang melakukan kekerasan adalah aparatur negara yang sayogyanya sebagai pengayom masyarakat, sungguh sangat ironi sekali. Maka dari itu, meskipun kekerasan tidak akan pernah hilang dan tidak pernah musnah dari kehidupan, kekerasan harus diminimalisir. Adanya sebuah dialog keterbukaan dengan bahasa yang mudah dipahami serta kesadaran bersama yang tinggi adalah sebuah cara yang tepat dalam menghapus kekerasan. Sungguh menyenangkan seandainya negeri ini mampu mengaplikasikan ajaran Ahimsa (paham pantang kekerasan) Mahatma Ghandi dan konsep kasih sayang yang dibawa oleh Nabi Isa AS. Betapa indahnya hidup tanpa kekerasan.s
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : Musthofa #

Tidak ada komentar: