animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Rabu, 21 April 2010

Dalalah al-Fadl : Implikasi Makna Lafadz (Pembahasan Tentang Dalalah Mantuq, Mafhum Muwafaqat dan Mafhum Mukhallafah)

Dalalah al-Fadl : Implikasi Makna Lafadz (Pembahasan Tentang Dalalah Mantuq, Mafhum Muwafaqat dan Mafhum Mukhallafah)

I. PENDAHULUAN
Hukum dalam pengertian ulama ushul fiqh adalah “apa yang dikehendaki oleh syar’i (pembuat hukum)”. Dalam hal ini, syar’i adalah Allah. Kehendak Syar’i itu dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan penjelasannya dalam sunnah. Pemahaman akan kehendak syar’i itu tergantung sepenuhnya kepada pemahaman ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan hadits-hadits hukum. Dari kedua sumber tersebut di kalangan ulama disebut istinbath. Jadi istinbath adalah usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid syari’ah dan penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Teks al-Qur’an dan sunnah adalah sumber dan dalil pokok hukum Islam adalah bahasa Arab. Oleh karena itu setiap usaha memahami dan menggali dari teks kedua sumber tersebut adalah sangat tergantung kepada kemampuan memahami bahasa Arab. Untuk maksud itu para ahli ushul menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan kaidah tersebut. Dalam hal ini berpegang pada dua hal. Pertama adalah pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam hubungannya dengan al-Qur’an dan sunnah. Kedua adalah pada petunjuk nabi dalam memahami hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan sunnah atas hukum-hukum Qur’ani itu. Dalam hal ini lafaz ‘Arab dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.
Oleh karena itu dalam memahami teks-teks tersebut para ulama telah menyusun secara “semantik” (kebahasaan) yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqh. Dan para ahlinya pun membuat beberapa kategori lafaz atau redaksi, diantaranya yang sangat penting adalah masalah amar, nahi dan takhyir, pembahasan lafal dari segi umum dan khusus, mutlaq- muqayyad, mantuq-mafhum, jelas dan tidak jelasnya, hakekat dan majaznya. Namun pemakalah disini akan membahas tentang kebahasaan dari sedut mantuq dan mafhum.
II. PERMASALAHAN
Dari pendahuluan di atas, maka yang akan menjadai pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
- Bagaimana pengertian tentang implikasi makna lafaz?
- Apakah pengertian dari Manthuq dan bagaimana pembagiannya?
- Apakah pengertian Mafhum dan bagaimana pembagiannya?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Implikasi Makna Lafadz
Implikasi makna lafaz berarti setiap lafaz (kata) yang digunakan dalam teks hukum mengandung suatu pengertian yang mudah dipahami oleh orang yang menggunakan lafaz itu. Ada pula lafaz yang mengandung beberapa pengertian yang merupakan bagian-bagian dari lafaz. Bila hukum berlaku untuk lafaz itu, maka hukum itu hanya berlaku untuk pengertian tertentu saja.
Menurut ushul, bahasa hukum mempunyai arti (makna) atau implikasi (mafhum). Misalnya, perintah mewujudkan sebuah arti pengertian dan implikasi. Misal, “duduklah” tidak menunjukkan apa-apa kecuali duduk.
B. Pengertian Manthuq dan Pembagiannya
1. Pengertian Manthuq (منطوق)
Dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah itu ada dua macam, yaitu dalalah mantuq dan dilalah mafhum. Dilalah manthuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh berarti pengertian harfiyah dari suatu lafal yang diucapkan.
Dilalah manthuq dalam pandangan ulama Syafi’iyah adalah adalah:
المنطق هو دلالة اللفظ فى محل النطق على حكم المذكور
“penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu”.

Atau dalah definisi mudahnya adalah:
“Penunjukkan lafadz menurut apa yang diucapkan”.

Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “sesuatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman secara “manthuq”.
Seperti contoh: Firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4):23:
  • ………..              …… 
Artinya: (diharamkan atasmu mengawini) ibu-ibumu…… dan anak-anak tiri yang berada dalam asuhanmu dari istri-istri yang telah kamu gauli…..

Ayat ini menurut manthuqnya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk disini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan di balik yang tersurat itu.
2. Macam-macam Manthuq
Secara garis besarnya, “dalalah manthuq terbagi dua, yaitu: manthuq sharikh/ jelas dan manthuq ghair sharikh/ yang tidak jelas”.
a) manthuq sharikh/ jelas: lafaz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah hukum dengan menggunakan dilâlah al-Muthâbaqah, at-Tadhammun.
b) manthuq ghair sharikh: lafaz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah hukum dengan menggunakan “wadh lizhammiyah”. Manthuq gairu sharikh ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1) dilalah ima’ialah:
Penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat itu yang menjadi ‘illat untuk hukum tersebut, maka penyertaan itu tidak ada artinya.
2) dilalat al-isyarat, yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
3) dilalat iqtidha’’. Yaitu pengertian kata yang disipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya pebyisipan itu.
C. Pengertian Mafhum (مفهوم) dan Pembagiannya
1. Pengertian Mafhum (مفهوم)
Secara etimologi pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab ta'iba" mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus.
Sedangkan secara terminilogis makna al-mafhum adalah : lafaz yang menunjukkan terhadap sesuatu diluar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nutqi), dan menjadi sebuah hukum terhadap yang telah ditetapkan.
دلالة اللفظ لا فى محل النطق على تبو ت حكم ما ذكر لما سكت عنه او على نفى الحكم عنه

“Penunjukam lafaz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan”.
Atau dalam definisi lain yang lebih sederhana:
ما فهما من اللفظ فى غير محل النطق
“apa yang dapat dipahami dari lafaz bukan menurut apa yang dibicarakan”
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra’ (17): 23:
        •  •                 
Artinya: dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.

Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar atau “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat yang disebutkan itu, juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersairat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
2. Macam-macam Mafhum
Dari definisi mafhum diatas terlihat ada dua macam mafhum, yaitu:
Pertama: berlakunya hukum disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. Mafhum dalam bentuk ini disebut mafhum muwafaqat (mafhum kesamaan).
Kedua: tidak berlakunya hokum yang disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. Mafhum dalam bentuk ini disebut mafhum mukhallafah (mafhum kebalikan).
1. Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah ialah Mafhum yang lafaznya yang menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz. Dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang tidak disebutkan, mafhum muwafaqah terbagi dua, yaitu:
a) Mafhum aulawi (مفهم الاولوى) yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafaz. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya hukum pada manthuqnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-isra’ (17): 23, di atas. Memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana haramnya mengucapkan kata “uf”, karena sifat menyakiti dalam “memukul”, lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar (uf).
b) Mafhum Musawwi (المسوى مفهم) yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthuq. Contohnya, firman Allah dalam surat al- Nisa’ (4): 10:
•              
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara aniaya. Ada yang tersirat dibalik manthuq tersebut, yaitu haramnya “membakar” harta anak yatim, karena “meniadakan harta anak yatim” itu terdapat dalam “memakan” yang juga terdapat dalam “membakar” harta. Kekuatan hukum haram pada membakar sama dengan hukum haram pada memakan karena kesamaan alasan “meniadakan” pada kedua keadaan tersebut. Dengan demikian hukum pada yang tersirat (tidak disisebutkan), kekuatannya sama dengan hukum pada yang tersurat (disebutkan).
Para ulama sepakat dalam penggunaan mafhum muwaffaqat (menjadikan sebagai cara menetapkan hukum). Namun hanya ulama Zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafhum sebagaimana juga menolak menggunakan qiyas, karena menurut mereka, mafhum muwaffaqat dalam hal ini sama dengan qiyas. Kalangan ulama yang menggunakan mafhum sebagai hujjah mengemukakan alasan dengan tradisi penggunaan bahasa Arab. Bila seseorang mengatakan kepada pembantunya, “jangan kau berikan uang seribu rupiah kepada pengemis,” maka berlakulah larangan itu untuk seribu rupiah atau lebih dari itu.

2. Mafhum Mukhallafah
Mafhum Mukhallafah ialah mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau juga bisa diartikan: hukum yang berlaku Berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq.
Mafhum mukhallafah terbagi kepada beberapa bentuk, diantaranya (yang pokok) adalah:
 Mafhum al-Washfi (as-Sifat)
Mafhum al-washfi adalah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafaz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.
Misalnya, firman Allah swt (surat al-Nisa’(4):25). yang berbunyi:
          •      
Artinya: Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.

Diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan, oleh karena itu wanita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk dinikahi.
 Mafhum as-Syart
Mafhum as-syart adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang.
Misalnya, firman Allah swt. dalam surat ath-Thalaq:6 yang berbunyi :
….          
Artinya: Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafaqah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhum al-mukhâlafah dapat dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas suaminya tidak berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan mengunakan mafhum as-syart dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil.
 Mafhum al-Ghâyah
Mafhum al-ghâyah adalah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum yang dibatasi dengan adanya limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu sudah berlalu. Dan hukum yang terjadi sesudah ghâyah tersebut berbeda dengan hukum yang terjadi sebelum ghâyah.
Misalnya, firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah : 230
           
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.

Mafhum ghayah dari ayat ini adalah bila bekas istri yang ditalak tiga telah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya, maka boleh mengawini bekas istri yang telah ditalak tiga itu.
 Mafhum al-‘adad
Mafhum al-‘adad adalah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya hukum dengan bilangan tertentu, terhadap hukum kebalikannya untuk bilangan lain dari bilangan yang ditentukan itu. Misal firman Allah dalam surat al-Nur: 2
• •  •     
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.

Mafhum al-adad dari ayat tersebut adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.
 Mafhum Laqab
Mafhum Laqab adalah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang-orang lain. Seperti halnya, “Muhammad bin Abdullah adalah Rasul Allah”, mafhum laqab dari ucapan itu adalah tidak berlakunya kerasulan bagi orang selain Muhammad bin Abdullah.
Untuk mengamalkan mafhum al-mukhâlafah para ulama' ushul fiqh menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut :
Pertama: mafhum al-mukhâlafah, itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau mafhum muwaffaqat, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal.
Kedua: Batasan (qayd) dalam nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk membatasi hukum.
IV. ANALISA
Ayat-ayat al-Qur’an yang terdiri beberapa lafaz yang mudah dipahami secara tersurat dan ada juga yang perlu dipahami secara lebih mendalam demi menangkap makna suatu lafaz. Sehingga dapat dikatakan bahwa lafaz dapat memberikan pengertian secara tersurat dan tersirat. Maka dari itu, untuk memahami lafaz-lafaz al-Qur’an di haruskan dengan metode semantic yaitu dengan menggunakan manthuq dan mafhum (mafhum muwaffaqat dan mafhum mukhallafat). Meskipun ada beberapa ulama yang tidak sepakat menggunakan mafhum mukhallafat sebagai metode beristinbat, sebenarnya mafhum mukhallafat memilki peran yang sangat penting sekali dalam menggali hukum dari khittab Allah dan assunnah. Adanya beberapa persyaratan dalam menggunakan mafhum mukhallafah adalah untuk pembatasan dalam berhujjah dengan mafhum mukhallafah. Dan persyaratan ini berlaku bagi ulama yang membolehkan berhujjah dengan menggunakan mafhum mukhallafah.
V. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implikasi makna lafaz ada yang manthuq dan mafhum. Adapun yang dimaksud dengan manthuq adalah implikasi makna lafaz secara tersurat. Sedangkan mafhum implikasi makna lafadz secar tersirat. Dan mafhum ini dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwaffaqat dan mafhum mukhallafah.
VI. SARAN
Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan makalah ini mengenai. Dalalah al-Fadl: Implikasi Makna Lafaz (Pembahasan Tentang Dalalah Mantuq, Mafhum Muwaffaqat dan Mafhum Mukhallafah). Tentunya dalam pemaparan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin.











Daftar Pustaka

- Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1989.

- Effendi, Satria, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.

- Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories, diterjemahkan noleh E. Kusnaadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam Penagntar untuk Ushul Fiqh Madzhab Sunni, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

- Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

- Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh Jilid II, cet. IV., Jakarta: Kencana, 2008.

- Zahrah, Muhammad Abu, al-ilmu al-Ushul al-Eiqh, Multazam: Dar al-Fikr, tt.
- Zuhaili, Wahbah, Ushul fiqh al-Islami. juz 1., (Beirut: Muassasah ar-Risalah, tt).
- http://fahmirusydi.multiply.com/journal/item/7.
- http://zlemb.multiply.com/journal/item/7. #

Tidak ada komentar: