animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Rabu, 13 Januari 2010

studi kasus peninjauan kembali oleh jaksa

INKONSISTENSI UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(STUDI KASUS PENINJAUAN KEMBALI (PK) OLEH JAKSA)


I. PENDAHULUAN
Penegakan hukum oleh aparat hukum di Negara ini adalah sebuah keniscayaan. Negara yang telah mendeklarasikan diri sebagai Negara emokrasi harus mampu mengejawantahkan dengan sikap yang konkrit. Menegakkan keadilan, kebenaran dan menciptakan peradilan independen harus selalu dijaga selalu oleh para aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Advokat dan Hakim). Keempat catur wangsa ini harus saling mengisi agar terjadi chec and balance dalam penegakan hukum.
Khusus untuk Jaksa adalah sebagai penuntut umum. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Segala hal yang bersangkut paut dengan Kejaksaan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan. Dengan dasar Undang-Undang tersebut, maka jaksa adalah sebagai badan Negara yang bertugs meminimalisir tindak pidana selain hakim dan polisi.
Namun, ketika jaksa dalam melakukan penegakan hukum telah melampaui batas kewenangannya yang digariaskan, maka akan terjadi sebuah ketimpangan hukum. Seperti halnya Jaksa-Jaksa yang telah melakukan Peninjauan Kembali (PK) sangatlah melanggar pasal 263 KUHAP. Banyak sekali perdebatan-perdebatan panjang yang dilakukan oleh para ahli hukum (Advokat, Jaksa dan Komisi Yudisial).
Dalam perspektif social, alasan penegakan hukum yang dilakukan oleh jaksa untuk public akan mencederai hak asasi para terdakwa. Sedangkan dalam perspektif hkum, jaksa telah melanggar asas legalitas. Padahal aturan PK menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan PK adalah si Terdakwa. Dan aturan tersebut bersifat limitatif.
II. PERMASALAHAN
Dari uraian pendahuluan diatas maka permasalahan dalam makalah ini adalah mempertanyakan :
- Bagaima Jaksa bisa mengajukan Peninjauan Kembali?
- Apkah Peninjauan Kembali oleh Jaksa dapat dikatakan sebagai inkonstitusi KUHAP (Kitab Hukum Undang-Undang Acara Pidana)?
- Bagaimana implikasi Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Terhadp Sosio-Hukum Nasional?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Peninjauan Kembali (PK)
Peninjauan kembali merupakan hak terdakwa atau terpidana untuk melakukan upaya hukum karena tidak menerima putusan pengadilan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Dalam pasal 263 ayat 1 menyebutkan bahwa:
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Sedang dalam ayat 2 KUHAP menyatakan syarat dilakukannya peninjauan kembali, yaitu:
1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atas tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2. apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alas an putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lainnya.
3. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa KUHAP telah menjelaskan, peninjauan kembali hanya boleh dilakukan oleh si terdakwa. Dan peninjauan kembali merupakan hak si terdakwa.
B. Jaksa dalam Melakukan Peninjauan Kembali (PK)
Belakangan ini, upaya peninjauan kembali (PK) oleh jaksa kembali menjadi topik yang menghiasi perdebatan hukum di ruang publik. Denny Kailimang misalnya -dalam acara debat yang diselenggarakan oleh Jakarta Lawyers Club dan AN TV beberapa malam lalu - kurang-lebih berpendapat bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya saja. Tetapi Jasman Panjaitan (Kapuspen Kejaksaan Agung) pada kesempatan yang sama berpendapat lain, beliau berkeyakinan bahwa jaksa boleh mengajukan PK.
Meski pendapat-pendapat tersebut hadir dalam benturan yang kuat, namun argumentasi mereka tetap mengacu pada kaidah yang sama yaitu KUHAP. Berarti pro-kontra itu sesungguhnya, merupakan perbedaan penafsiran atas sebuah aturan. Dan sepertinya soal penafsiran sudah di-‘takdir’-kan untuk selalu menghadirkan ragam pendapat. Sehingga tak mengherankan jika ada pomeo yang menyatakan bahwa “jika dua sarjana hukum bertemu maka akan melahirkan tiga pendapat”.
Diantara contoh kasus jaksa melakukan peninjauan kembali adalah sebagai berikut:
- Negara v Muchtar Pakpahan,
- Negara v Pollycarpus (Ksuss Pembunuhan Aktivis HAM Munir)
- Negara Vs Djoko Candra (kasus Bank Bali)
Telah banyak sekali Jaksa yang melakukan PK padahal dalam KUHAP telah jelas menyatakan PK hanya untuk para terdakwa.
C. Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Relevansinya dengan KUHP
Dalam Filsafat Hukum menjelaskan bahwa hukum kita merupakan berpijak pada aliran Positivisme Hukum yang mana bahwa dalam melihat hukum, yang utama adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Artinya, validitas norma hukum berdasarkan kewenangan terseaabut. Logikanya, Jaksa yang melakukan PK telah melanggar kewenangan yang telah diberikan.Menurut Paustinus Siburian (Advokat dan Konsultan Hak Kekayaan Intellektual) memberikan penafsiran terhadap pasal 263 KUHAP, menyatakan bahwa:
Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK, maka orang itu pasti telah salah membaca undang-undang. Pembacaan yang teliti terhadap Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK.


Menurut Jur Andi Hamzah dalam Bukunya “Hukum Acara Pidana” menyebutkan Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan oleh si terpidana yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan menurut Buysro Muqaddas (Ketua Komisi Yudisial) menyatakan bahwa pasal 263 merupakan pasal yang limitative dan tidak diperkenankan adanya interpretasi.
Dalam praktek, PK merupakan upaya hukum luar biasa atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht) sehingga tidak dapat lagi disalurkan melalui upaya hukum biasa seperti banding atau kasasi. Jadi PK pada pokoknya hanya dapat diajukan atas putusan Mahkamah Agung (MA) atau putusan pengadilan tinggi yang tidak diajukan kasasi atau putusan pengadilan negeri yang tidak dimphonkan banding. Upaya ini berlaku untuk semua persoalan hukum baik dalam lingkup perkara perdata maupun maupun pidana, termasuk berlaku pula dalam perkara tata usaha Negara.
Lantas bagaimana dengan PK? Dimungkinkankah dilakukan oleh jaksa, seperti halnya terpidana atau ahli warisnya.
Guna menjawab pertanyaan tadi, tentu argumentasi selanjutnya harus didasarkan atas pasal 263 KUHAP dan praktik hukum yang berkembang. Dalam ayat 2-nya disebutkan bahwa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntuan hukum dapat diajukan peninjauan kembali.
Kata “kecuali” itulah kemudian menjadi dasar penolakan terhadap pengajuan PK oleh jaksa. Jika kata tersebut hanya dikaitkan dengan bentuk putusan, maka penolakan tersebut amat berdasar. Hal tersebut dikarenakan KUHAP hanya mengenal tiga bentuk putusan yakni bebas, lepas dari segala tuntutan hukum dan pemidanaan. Dengan demikian, praktis hanya putusan pemidanaan saja yang dapat diajukan PK menurut versi pasal 263 ayat 2 KUHAP.
Jelaslah pihak yang dirugikan oleh putusan pemidanaan adalah terpidana sehingga jaksa tidak mungkin mengajukan PK. Sebab tidak rasional rasanya mana-kala pihak yang diuntungkan oleh sebuah putusan berkehendak untuk menguji putusan tersebut.
Tetapi pasal 263 itu bukan hanya terdiri atas dua ayat saja, masih ada ayat lain yang memungkinkankan pihak yang me-‘rasa’ dirugikanan mengajukan PK. Penegasan ini penting artinya, mengingat dalam praktek seakan kerap dilupakan keberadaan ayat 3 dari pasal tersebut.
Jaksa penuntut umum (JPU) jelas adalah salah satu pihak dalam sistem peradilan pidana kita. Dan ia mewakili kepentingan masyarakat/negara, meski dakwaan yang ia ajukan dipersidangan hanya menimbulkan korban bagi seseoang saja. Oleh karena itu, seakan kita mengoyak nilai keadilan masyarakat mana-kala jaksa tidak diberi kesempatan untuk mengajukan PK.
Hanya saja kesempatan itu mesti disertai dengan berbagai pembatasan sehingga tidak setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan PK oleh jaksa. Walaupun kasusnya itu mendapat perhatian besar oleh publik, Ikhwal itu tentu berkenaan dengan azas legalitas yang menghendaki agar kaidah mesti terlebih dahulu ada sebelum proses hukum berlangsung.
Dalam KUHAP tidak diatur secara eksplisit mengenai kemungkinan bagi jaksa untuk mengajukan PK, tetapi disiratkan saja sebagai-mana terdapat dalam pasal 263 ayat 3. Ketentuan dimaksud menyebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan dapat diajukan PK apabila perbuatan yang didakwakan dianggap “terbukti” namun tidak disertai dengan pemidanaan. Sudah barang tentu putusan seperti itu hanya akan mengusik jaksa penuntut umum (JPU). Dan bukan terpidana atau ahli warisnya sebab putusan seperti itu tidak merugikan mereka.
Oleh karenanya, jika JPU menilai bahwa sebuah putusan mengusik nilai keadilan masyarakat akan tetapi tidak memenuhi syarat sebagaimana diharuskan oleh pasal 263 ayat 3, maka satu-satu cara untuk menguji penilaiannya itu yakni dengan mengajukan permohonan kepada jaksa agung agar ditempuh upaya kasasi demi kepentingan hukum. Dengan harapan agar tercipta keseragaman dalam kebajikan penuntutan ketika mereka menghadapi kasus serupa dikemudian hari.
Permohonan tersebut dimaksudkan agar tidak mengesankan bahwa tolak ukur keberhasilan JPU ditakar dari jumlah terpidana yang telah ia lahirkan, melainkan seberapa tegar ia mendisiplinkan diri pada prinsip-prinsip yang berlaku pada praktik penegakan hukum.
Kesimpulan dari uraian di atas yakni bahwa pihak yang dapat mengajukan PK menurut pasal 263 KUHAP yakni terpidana atau ahli warisnya berdasarkan ayat 2 dan berdasarkan ayat 3, jaksa bukan JPU menurut HMA. Kuffal, SH (Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum : 427). Ya karena PK diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan menurut analisa Syafruddin Djalal, Jika suatu saat nanti, nilai keadilan yang berkembang di tengah masyarakat menuntut dibuka kran yang lebih luas bagi jaksa untuk mengajukan PK, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah merevisi ketentuan mengenai PK yang diatur dalam KUHAP.
Tanpa semua itu, maka peme-PK-an oleh jaksa hanya akan membentur azas legalitas. Akibat selanjutnya adalah akan menghangatkan perdebatan yang kian membingungkan para pencari keadilan seperti terjadi saat ini. Juga hal yang perlu diatur lebih lanjut yakni mengenai tata cara pengajuan PK oleh jaksa. Pengaturan mana bisa saja hanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan dibawah KUHAP.
D. Implikasi Peninjauan Kembali Oleh Jaksa
Proses peninjauan kembali (PK) di Indonesia terhadap hasil kasasi Mahkamah Agung dinilai lebih merupakan tindakan melawan hukum yang tidak berada dalam koridor hukum.
"Tidak adanya rambu-rambu hukum yang jelas soal peninjauan kembali," ucap Erick S Paat perwakilan dari Lembaga Advokasi Hukum Demokrasi Untuk Pembaruan (Landep) saat hadir ke MA untuk menyampaikan rekomendasi hasil diskusi Landep tentang PK dalam hukum di Indonesia, Senin (29/6).
Erick mengatakan, PK hanya bisa dilakukan oleh terpidana atau ahli waris, bukan oleh pihak Kejaksaan. "Tidak ada acuan hukum yang membolehkan jaksa melakukan PK atas putusan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap," ucapnya.
Dalam rekomendasi tersebut, Landep meminta MA melakukan tindakan tegas terhadap hakim yang melanggar kode etik profesi dengan menerima PK yang diajukan oleh Kejaksaan."Harus dipecat, karena tidak mencerminkan profesionalisme," tegasnya.
Landep, berpendapat, juga meminta pemerintah dan DPR untuk segera melakukan reformasi total di tubuh MA dan Kejaksaan Agung. "Agar menerapkan prinsip-prinsip good governance .
Dari analisis di atas sangat jelas sekali bahwa efek dari PK yang dilakukan oleh jaksa adalah menimbulkan ketidak bersihan sebuah negara hukum dan jaksa terkesan telah menyalahi undang-undang acara pidana.


IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luasr biasa yang diperuntukkan terpidana yang memperoleh hukum tetap. Jakasa penuntut umum tidak diperkenankan melakukan PK karena itu telah melanggar aturan dalam KUHAP, sehingga jaksa dapat dikatakn inkonsistensi KUHAP bila masih melakukan Peninjauan Kembali
V. SARAN
Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.
Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan makalah ini mengenai Inkonstitusi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Studi Kasus Peninjauan Kembali (Pk) Oleh Jaksa) . Tentunya dalam pemaparan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi maupun segi metodologi istinbat hukum. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin.


Daftar Pustaka

- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Surabaya: karya Anda, tt..
- Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. I, ed. II, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
- Kompas tanggal 15 oktober 2009,.
- Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana, 2007.
- Sajtipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif
- http://www.hkmPaustinus.blogspot.com
- talk sow di Metro Tv beserta Persatuan Advokat Indonesia dan Mantan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara, pada hari Senin tanggal. 27 Juli 2009 pada pukul 20.00 WIB.
- http://www.hukumSyarifDjalal.Blogspot.com
- http://www.hukumSyarifDjalal.Blogspot.com
- Kompas pada hari, Selasa, 30 Juni 2008 #

Tidak ada komentar: