animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Rabu, 13 Januari 2010

problematika asas retroaktif

PROBLEMATIKA ASAS RETRO-AKTIF
DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA


I. Pendahuluan
Masyarakat selalu mengalami perubahan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak perlu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat memiliki dampak yang positif dan dampak negatif . Tak dapat ditentukan secara pasti bahwa perubahan masyarakat itu akan menimbulkan kejahatan sebagaimana ditetapkan dalam Forth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender ataupun sebaliknya perubahan masyarakat mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi Konggres PBB tersebut mengakui bahwa beberapa aspek penting dari perkembangan masyarakat dianggap potensial sebagai kriminogen, artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan kejahatan. Aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi, pertambahan penduduk, perpindahan penduduk setempat, mobilitas sosial dan perubahan teknologi.
Salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana adalah asas legalitas. Asas ini mengandung konsekuensi larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana. Dalam perkembangannya, asas ini ternyata disimpangi terutama terhadap kejahatan yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pemberlakuan surut Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 menutup kemungkinan dibuatnya peraturan pidana lain yang berlaku surut. Ketentuan tentang berlaku surut (retroaktif) di Indonesia hanya dimungkinkan untuk pelanggaran HAM berat sebagaimana ditentukan dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000. Persoalan ini menjadi rumit manakala terjadi tindak pidana jenis baru yang menimbulkan banyak korban akan tetapi belum ada peraturan pidana yang mengaturnya. Akankah pembatasan pemberlakuan asas retroaktif itu sedemikian ketat hingga membiarkan korban berjatuhan.


II. PERMASALAHAN
Dari pendahuluan di atas, maka permasalahan yang akan coba diangkat dalam makalah ini adalah:
A. Pengertian Asas Retroaktif dan hubungannya dengan Asas Legalitas?
B. Bagaimana Asas Non Retroaktif dan Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Nasional?
C. Bagaimana Eksistensi Asas Retroaktif Di Indonesia?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Asas Retroaktif dan hubungannya dengan Asas Legalitas
Asas retroaktif merupakan asas berlaku surutnya suatu undang-undang. Banyak persoalan yang dihadapi dalam sistem hukum indonesia seperti keterbatasan kemampuan hukum pidana (asas legalitas) dalam menanggulangi kejahatan. Selain persoalan keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, hukum pidana kita juga kurang bersikap adaptif dalam merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat, baik masyarakat nasional maupun internasional. Romli Atmasasmita menyebut sikap hukum pidana yang demikian, termasuk asas-asas hukum dan norma-norma serta lembaga-lembaga pranata yang mendukungnya masih bersifat konservatif. Sikap konservatif ini terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas legalitas, asas neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan. Sikap ini menyebabkan kajian tentang hukum pidana tidak mengalami perkembangan yang signifikan.
Pertanyaan kedua berkaitan dengan nasib dari pelaku dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan sebelum undang-undang yang berkaitan hadir. Pertanyaan kedua ini berkaitan dengan salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas. Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan kedua ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan.
Maka dari itu, diuraikan mengenai perkembangan salah satu konsekuensi dari asas fundamental dalam hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pidana berdasarkan waktu (lex temporis delicti) atau yang biasa dikenal dengan asas legalitas, khususnya yang berkaitan dengan asas retroaktif (berlaku surut). Pembicaraan asas ini menjadi penting oleh karena adanya tuntutan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu yang menuntut keadilan dan tuntutan dunia internasional mengenai kejahatan terorisme, serta perbuatan lain yang tiada bandingannya dalam perundang-undangan pidana padahal perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela. Apalagi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 yang banyak menimbulkan kontroversi.
B. Asas Non Retroaktif dan Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Nasional
Pembicaraan asas retroaktif akan berhenti jika kita hanya berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) KUHP, karena pasal tersebut membatasi pengertian retroaktif hanya pada keadaan transitoir atau menjadi hukum transitoir (hukum dalam masa peralihan). Ini mengandung arti bahwa jika sebelumnya tidak ada peraturan pidana, kemudian dibuat peraturan pidana yang baru dan berlaku untuk kejahatan yang telah lalu, berarti bukan persoalan retroaktif, dan ini oleh Barda Nawawi Arief termasuk dalam persoalan sumber hukum. Akan tetapi jika kita mengartikan secara lebih luas, retroaktif berarti berlaku surut dan ini berarti berlaku untuk pembicaraan ada – yang berarti hukum transitoir – atau tidak ada peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan.
Persoalan retroaktif sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas. Asas legalitas sendiri dapat dikaji berdasarkan berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek sosio kriminologis, aspek pembaharuan hukum dalam kaitannya dengan pandangan secara iteratif dan linier, aspek yang terkait dengan politik kriminal serta kajian dari perspektif weltanschaung kita yaitu Pancasila. Kajian dari masing-masing aspek ini memberi implikasi yang berbeda mengenai asas legalitas yang mana dalam pandangan ilmu pengetahuan perbedaan itu justru akan memperkaya khasanah ilmu hukum pidana itu sendiri.
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas ini terbagi dalam tiga hal, yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan) dan Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Menurut Sudarto, pasal ini berisi 2 (dua) hal, pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana (non retroaktif). Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Larangan pemberlakuan asas retroaktif ini didasarkan pada pemikiran:
a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa
b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.
Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional. Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan.
Dari praktek hukum pidana internasional, dapat kita lihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif.
C. Eksistensi Asas Retroaktif Di Indonesia
Dalam sejarah dan praktek perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum – khususnya hukum pidana – semakin diperluas. Selain itu pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.
Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada.
Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.
Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu:
1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam Penjelasan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut. Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”.
Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi hak relatif. Kemudian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu.
2. Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC. Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri.
3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa

“Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri”.

Ketentuan ini merupakan dasar dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini, …” mengandung indikasi bahwa selain Perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. Akankah demikian, tentunya kita lihat perkembangan dari kedua perpu tersebut.
Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku peledakan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Imron dan Imam Samudera. Dalam perkembangannya, eksistensi Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiil oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiil hanya Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.
Salah satu dasar hukum dan yang paling relevan dengan persoalan yang dibicarakan di sini adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua) UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pembatasan dari Pasal 28 J ini memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime, sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana.
Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengesampingkan asas non retroaktif, argumen hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya. Di samping itu, dikemukakan pula bahaya dari penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas non-retroaktif akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik (revenge) dan sebagainya.
Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 berpendapat bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut:
1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat;
2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Ad hoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal;
3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun 2003 atas peristiwa bom Bali dan mengabaikan sama sekali teori sebab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum;
4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali;
5. Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukkan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut tersebut terlalu dini dan ceroboh.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003. Meski yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini membawa dampak kepada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali.
Adalah menarik untuk mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggi di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 diuji materiilkan terhadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan ketentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara. Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
IV. KESIMPULAN
Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Kenyataan yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berada di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundang-undangan. Selain itu larangan penerapan peraturan pidana secara retroaktif ternyata menimbulkan persoalan yang rumit terutama dalam menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingannya dalam KUHP atau peraturan pidana khusus lainnya. Adakah kejahatan yang sedemikian dibiarkan.
V. SARAN
Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan tentang Problematika Asas Retroaktif dalam Peradilan Indonesia. Tentunya dalam pemaparan makalah kami ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi maupun segi metodologi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin







DAFTAR PUSTAKA


- Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

- Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

- D. Schaffmeister, N. Keijer, E.PH Sitorius, 1995, Hukum Pidana, terjemahan J.E. Sahetapy, Yogyakarta: Liberty.

- Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip.

- Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center.

- Romli Atmasasmita, 1998, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Bagian Kesatu, Bandung: Putra A Bardin.

- Romli Atmasasmita, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Jakarta: Hecca Mitra Utama.

- Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandung: Mandar Maju.

- http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/problem_retroaktif.ht - _ftn1

- Budi Syahbudin, dkk., 2006 Dibalik Palu MA Mendudukkan Perdebatan Retroaktif, Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia. #

Tidak ada komentar: