animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Senin, 16 November 2009

sinkretisme islam jawa-jawa islam

TIMBULNYA AGAMA JAWI: RELIGIUSITAS ISLAM SINKRETIS

I. Pendahuluan
Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual.
Koentjaraningrat menyebut religiusitas Islam Abangan dengan istilah Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat dengan Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam baku.
Dalam konteks masyarakat Indonesia bahkan yang mengalami sinkretisme dalam sejarah masuknya agama-agama besar bukan hanya Islam, tetapi juga Hindu, Budha, Kriten atau Katolik. Dalam studinya tentang agama asli Indonesia, J.W.M. Bakker mencatat bahwa ajaran Hindu dan Budha pun, yang datang lebih dulu, tidak bisa menancap secara menyeluruh dan konsisten di negeri ini. Ajaran Hindu tentang kasta atau catur varna dan maya tidak bisa tumbuh dengan subur.
Hal serupa juga terjadi dengan Islam. Ketika Islam memasuki Indonesia, dan khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi dengan agama asli di samping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah datang lebih dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis atau pun sosiologis di Jawa dikenal dua varian Islam yang cukup berbeda secara menyolok seperti tersebut di atas.

II. PEMBAHASAN
A. Konteks Kemunculan Agami Jawi
Agami Jawi seperti yang disinyalir Koentjaraningrat sering disebut dengan Islam sinkretis. Yang dimaksud sinkretis secara umum adalah proses ataupun hasil dari pengolahan, penyatuan, pengkombinasian dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya. Dengan adanya proses sinkretis maka apa yang terkandung di dalam sebuah sistem prinsip baru tidak hanya terkandung sistem prinsip asli agama yang bersangkutan tetapi juga sistem prinsip dari unsur lain. Demikian juga yang terjadi dengan Agami Jawi.
Dengan kata lain, sikap sinkretis adalah
Suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya sesuatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan.

Maka ciri yang paling menonjol dari sebuah religiusitas adalah lintas agama, lintas rasional dan lintas kelompok.
Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah.
Bentuk Islam mistis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi kepercayaan ruh dan benda-benda ghaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan menjadi faktor kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling landai ketika bertemu dengan Islam mistis.
Islam mistis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Dalam Islam mistis, didapatkan dengan melalui beberapa tingkat yaitu syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Syariat adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan secara sepenuhnya. Hakikat adalah tingkat di mana manusia hanya memperhatikan Allah semata-mata dan ma’rifat adalah tahap terakhir yaitu tahap kesempurnaaan.
Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik.
Sebelum hadir agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik atau Kristen, bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius yang sering disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh J.W.M. Bakker, kepercayaan purba ini disebut dengan agama asli atau otokton. Agama ini disebut asli karena berasal dan berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya dan siapa pendirinya.
Sementara itu jika animisme dan dinamisme hidup pada rakyat kebanyakan, maka ajaran Hindu-Budha lebih menampakkan wajahnya melalui institusi kerajaan Mataram sebagai satu bentuk reinkarnasi kerajaan Majapahit.
Secara kosmogonis, Hindu menyatakan adanya tahap-tahap eksistensi alam, yaitu masa penciptaan (srsti), masa pemeliharaan (sthiti), dan masa penghancuran kembali (pralina). Ketiga tahap ini menggambarkan tugas masing-masing dewa yaitu dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa).
Sementara itu secara historis, Budha yang berkembang di Indonesia menunjukkan aliran Vajrayana, Yogacara dan Tantrayana. Aliran Vajrayana dan Yogacara bisa disimpulkan dari keberadaan bangunan candi Borobudur, yaitu susunan pantheon (susunan dewa-dewa) dan susunan bangunan yang terdiri atas 10 tingkatan.
Ketiga titik ini yaitu Islam mistis, agama asli, dan Hindu-Budha merupakan latar mosaik yang saling bertemu, saling pengaruh, saling mengambil yang kemudian melahirkan Agama Jawi sebagai bentuk Islam sinkretis yang mengambil posisi geografis terutama di daerah Jawa Tengah pedalaman..
Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab suluk dan primbon. Kitab suluk adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya mataram.
Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya banyak mengandung ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya untuk menyatukan secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi kesusasteraan Islam dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai penciptaan alam, kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi ramalan-ramalan.
Sementara itu pertemuan Islam mistis dengan tradisi Hindu-Budha kerajaan Mataram menghasilkan serat. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf yang dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistik-moral. Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini, dan serat Cebolek. Serat juga merupakan bagian dari strategi kerajaan Mataram untuk beradaptasi dengan perkembangan Islam yang semakin gencar.
B. Tingkat Sinkretisasi
 Tingkat Sistem Keyakinan
1. Sinkretisme Teologis
Proses sinkretisme dalam Agami Jawi antara lain nampak dalam taraf teologis. Taraf ini menyangkut konsep Agami Jawi tentang Tuhan. Sumber representatif mengenai konsep Tuhan dalam Agami Jawi adalah kitab Nawaruci. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agami Jawi tentang Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mitis dan Hindu-Budha dibanding dengan Islam formal.
Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam Islam baku yang monoteistis.
Sebagai sebuah pengalaman teologis, kisah Dewaruci di mata orang Jawa yang Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran yang islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam.
Cerita Dewaruci memang sangat dekat dengan konsep teologi dalam Islam mistis yaitu konsep manunggaling kawula gusti. Faham ini adalah faham ‘serba Esa’, wujud hanya satu, wujud Tuhan adalah wujud manusia. Konsep teologis dalam kisah Dewaruci tak jauh beda dengan Ana’l Haq-nya Al-Hallaj, Wihdatul-wujud-nya Ibnu arabi. Ajaran ini di Jawa terkait dengan tokoh Syeh Siti Jenar.



2. Taraf Kosmologis-kosmogonis
Kosmogoni dan kosmologi adalah serangkaian konsep dan pandangan mengenai asal-usul alam semesta dan manusia. Agami Jawi mengenal beberapa konsep penciptaan. Salah satu konsep penciptaan yang menampakkan proses sinkretis antara Islam dan Hindu terdapat dalam kitab-kitab babad. Kisah-kisah penciptaan ini bersifat setengah historis. Dalam kisah ini terjadi perpaduan konsep penciptaan dalam Hindu yang berkisar pada kisah Brahma-Wisnu dan konsep penciptaan dalam Islam yang berkisar pada kisah Adam.
3. Taraf Eskatologis
Eskatologi adalah serangkaian pandangan yang menyangkut keyakinan akan peristiwa pada hari-hari yang akan datang setelah kehidupan di dunia ini. Dalam setiap agama, keyakinan akan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia ini merupakan ajaran pokok. Justru yang membedakan antara keyakinan religius dan non-religius antara lain terletak dalam keyakinan adanya kehidupan di hari nanti.
Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) atau yang disebut dengan lelembut, yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Namun roh dapat dihubungi setiap saat bila diperlukan.
Pengaruh Islam menciptakan pada orang Jawa konsep mengenai dunia roh yang berada di dekat Allah; juga bahwa orang yang meninggal oleh Allah akan diberi tempat di swarga atau di neraka sesuai dengan perilakunya yang baik dan yang buruk semasa hidupnya. Walaupun demikian kebanyakan penganut Agami Jawi tidak memiliki gambaran yang nyata mengenai swarga atau neraka itu.
Perjalanan ruh untuk menuju surga memerlukan tahapan-tahapan sampai sungguh-sungguh jiwanya terlepas dari segala hasrat duniawi untuk kemudian bisa masuk surga. Tahapan ini merupakan tahapan perubahan dari tubuh yang memiliki hasrat yang disebut dengan lengaslira (makhluk halus) sampai dengan tahap moksa (kesempurnaan) yang memerlukan tahapan waktu antara 40 hari, 100 hari sampai dengan 1000 hari.
Dalam konteks ini, sinkretisasi terjadi melalui konsep ruh. Nampaknya keyakinan roh dalam tradisi animisme-dinamisme sangat kuat mewarnai pada Agami Jawi dalam memaknai peristiwa-peristiwa eskatologis. Dr. Simuh membedakan dua jenis pandangan tentang Ruh, yaitu ajaran ruh aktif dan ruh pasif. Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh dan daya ghaib yang bersifat aktif.
Sementara itu Islam menurut Simuh mengajarkan prinsip ruh pasif. Prinsip tauhid menegaskan bahwa ruh manusia di alam kubur akan merasakan penderitaan bila amalnya buruk, dan akan mendapat nikmat jika amalnya baik. Tidak ada daya gaib dan kuasa ruh lain yang bisa berpengaruh secara aktif. Segala kuasa ruhani berpusat pada Allah.
Berdasarkan dua kategori ini, nampaknya Agami Jawi lebih dekat dengan ajaran ruh aktif. Agami Jawi meyakini bahwa ruh orang yang telah meninggal masih memiliki hubungan dengan proses kehidupan di dunia ini. Hal ini nampak dari apa yang paparkan oleh Koentjaraningrat bahwa:
Roh halus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya semula, atau sebagai arwah leluhur yang telah menetap di makan (pasareyan) leluhur, maupun yang tinggal di surga dekat Allah, roh nenek moyang masih lama akan dipuja dan dipanggil oleh para keturunannya untuk memberi nasihat kepada mereka mengenai persoalan rohaniah atau material. Makam nenek moyang adalah tempat melakukan kontak dengan keluarga yang masih hidup, dan di mana keturunannya melakukan hubungan secara simbolik dengan roh orang yang telah meninggal.
 Tingkat Sistem Ritual
1) Slametan
Seperti dikatakan oleh Simuh bahwa seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib. Fenomena ini memiliki kemiripan dengan fenomena ritual dalam Agami Jawi, terutama Slametan. Slametan atau wilujengan merupakan suatu upacara terpenting dari semua ritus yang ada dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya.
Ritual slametan bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu yang tidak bersifat keagamaan dan yang bersifat keagamaan. Slametan yang tidak bersifat keagamaan tidak menimbulkan getaran emosi pada orang yang mengadakannya. Biasanya jenis slametan ini lebih ditujukan untuk memelihara rasa solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai atau sekedar sebagai sebuah perayaan biasa saja. Sementara itu ritual slametan yang bersifat keagamaan bersifat keramat. Slametan yang bersifat keramat bisa disaksikan dari rangkaian upacara slametan untuk upacara kematian yaitu pada hari ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu.
Ritual slametan ini memang berjenis-jenis, ada yang untuk upacara peringatan orang yang telah meninggal, bersih-dhusun, awal musim cocok tanam, upacara hari-hari besar Islam, ngruwat, kaul, pindah rumah, dan sebagainya. Ritual ini tidak ada di dalam Islam baku. Sinkretisasi terjadi ketika di dalam ritual slametan biasanya diisi dengan dzikir atau doa-doa yang disampaikan atau dipimpin oleh seorang modin atau kaum.
2) Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.
Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran.. Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.
3) 3. Tirakat
Salah satu ritual yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.
Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni.
Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi.
III. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibagi menjadi Islam Abangan dan Islam Santri
2. Islam Abangan atau Agami Jawi merupakan satu bentuk religiusitas sinkretis yang dibentuk berdasarkan unsur-unsur Islam, religi animisme-dinamisme, dan Hindu-Budha.
3. Sinkretisme terjadi bisa dilihat pada dua wilayah yaitu pada sistem keyakinan yang terdiri dari unsur teologis, kosmologis-kosmogonis, eskatologis, dan pada sistem ritual, di antaranya ritual slametan, nyadran, dan tirakat.
IV. SARAN
Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan makalah ini mengenai Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretis. Tentunya dalam pemaparan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi maupun segi metodologi istinbat hukum. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin















Daftar Pustaka
 Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II, INIS:Jakarta.

 Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka: Jakarta.
 J.W.M. Bakker, 1976, Agama Asli Indonesia, Puskat: Yogyakarta.
 http://74.125.153.132/search?q=cache:mUAr_aPes5kJ:elearning.uin-suka.ac.id/attachment/agama_jawi_tjltl_12211492.doc+Agami+Jawi:+Religiusitas+Isla

 Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press.


 G. Moejanto dan St. Sunardi, Religiositas Kaum Beriman di Indonesia, Basis, Juni 1995 XLV No 6

 Edi Sedyawati et al, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


 Karkono Kamajaya Partokusumo, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta. #

Tidak ada komentar: