animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Rabu, 11 November 2009

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KE DEPAN: PROSPEK DAN TANTANGAN

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
KE DEPAN: PROSPEK DAN TANTANGAN

By: Masyhudi Muqorobin

Sistem ekonomi Islam atatu sering pula disebut ekonomi (yang berdasarkan) Syari’ah saat ini telah mengalami perkembangan yang kian pesat dan cukup menarik, terutama sangat dirasakan pada sektor keuangan dan perbankan. Berbagai forum untuk merespons perkembangan baik pemikiran maupun prakteknya telah dilaksanakan di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, response serupa juga terjadi secara substansial. Baru saja kita menjadi saksi sebuah konferensi internasional yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia, pada tanggal 30 September-2 Oktober dengan cukup sukses. Serangkaian events berskala internasional lainnya adalah di Surabaya, menyambut berdirinya Masyarakat Ekonomi Syari’ah Jawa Timur, tanggal 3 Oktober, disusul oleh Pelatihan Internasional pada tanggal 6-10 di Muamalat Institute Jakarta, kemudian tanggal 8-10 Oktober Seminar, di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selanjutnya disusul dengan Pelatihan Lanjutan dan Lokakarya Nasional Sistem Perbankan dan Keuangan Syari’ah (Advanced Training and National Workshop I on Shari’ah Banking and Finance), pada tanggal 13-19 Oktober dengan pembicara dan desain forum secara internasional. Antara momentum besar pada awal tahun ini adalah Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang yang baru saja selesai (28 dan 29 April 2004)
Persoalan kita adalah, cukupkah seminar-seminar itu dilaksanakan tanpa ada sembarang upaya tindak lanjut yang memadai untuk pengembangan sebuah sistem perekenomian yang berdasar Syari’ah? Rasanya tidak. Upaya pembumian sistem ekonomi Syari’ah harus tetap dilakukan secara serius, melalui berbagai diskursus, pelatihan, perkuliahan dan bahkan di sekolah-sekolah rendah hingga menengah juga perlu di kembangkan. Pengembangan berikutnya juga menuntut keseriusan masyarakat dalam melaksanakan praktek-praktek ekonomi Islam secara lebih serius. Hanya dengan inilah kita akan mampu menegakkannya.
Tulisan ringkas ini sekedar memberikan gambaran tentang perkembangan pemikiran, pengajaran maupun pengembangan sistem ekonomi berdasar Syariah, tanpa harus mengkonsentrasikan pada sektor tertentu, atau dalam hal ini keuangan danperbankan.
Dalam menghadapi perkembangan dunia modern, pengajaran ekonomi Islam baik dalam arti ilmu maupun sistemnya tampak mengalami kemajuan yang cukup berarti. Adalah kewajiban ummat Islam untuk lebih memperkembangkannya menjadi suatu kenyataan yang menanjikan solusi alternatif sehingga dapat berfungsi sebagai mana janji Islam, yaitu sebagai rahmatan lil’alamin.
Oleh karenanya secara sistemik, baik pemerintah maupun masyarakat haruslah berupaya untuk menegakkan tiang pancang sistem perekonomian melalui aktifitas-aktifitas ekonomi yang mengacu pada kebenaran Syari’ah. Prinsip-prinsip aturannya secara garis besar telah tersusun dalam kaidah-kaidah metodologis usul-fiqh. Sedangkan rumusan-rumusan aplikasinya tertuang dalam fiqh mua’malat yang didukung oleh fakta sejarah sejak zaman Rasulullah beserta para sahabat hingga sekarang.
Perilaku ekonomi setiap Muslim harus mencerminkan sikap ajarannya yang penuh dengan keluhuran nilai-nilai moral atau etika. Perbaikan etika atau yang dalam bahasa al-Qur’annya disebut sebagai akhlaq merupakan wasiat utama Rasulullah yang menjadi target utama diutusnya Beliau menjadi Nabi. Maka amatlah relevan pada saat-saat sekarang ini, utamanya dalam kasus pemberantasan KKN di negeri ini, upaya penegakan ekonomi berdasarkan moral atau akhlaq menjadi prioritas bagi setiap anak bangsa khususnya ummat Islam. Bila para pemimpin bangsa masih memiliki perilaku ekonomi yang tidak lepas dari unsur KKN tersebut, tidaklah kita perlu berharap bahwa sistem ekonomi Islam akan dapat ditegakkan di negeri ini dengan baik.
Penegakan nilai-nilai moral menjadi pilar utama sekaligus untuk menguji kesungguhan bangsa Indonesia bagi penerapan sistem ekonomi Syari’ah. Bila pilar ini secara berangsur-angsur dapat ditegakkan, maka keyakinan akan tegaknya ekonomi Islam memerlukan keseriusan lanjut tentang pengembangan “wilayah” berikutnya yaitu wilayah keilmuan. Hal ini selain memberikan pendidikan kepada anak bangsa, ia juga berfungsi sebagai wahana pengujian atau validasi yang bersifat saintifik bagi penemuan-penemuan empiris berupa perilaku-perilaku ekonomi yang memerlukan justifikasi ilmiah untuk dikaji lebih jauh.
Dalam tataran keilmuan, sekalipun prinsip-prinsip metodologi ekonomi Islam yang bermuara pada usul fiqh dapat dikatakan tidak memerlukan perubahan yang fundamental, namun kaidah-kaidah derivatifnya berupa fiqh mu’amalat haruslah senantiasa berubah seirama dengan pengembangan gagasan saintifik dan pembuktian empirik di lapangan. Ini demi menjaga kesegaran dan dinamika fiqh itu sendiri, sehingga sebagai ajaran Syari’ah, ekonomi Islam tidak kaku dan tidak ketinggalan zaman.
Dengan demikian, penguasaan khazanah sejarah pengembangan pemikiran usul fiqh maupun fiqh serta penguasan teori ekonomi modern menjadi keharusan bagi para akademisi yang terlibat dalam pengembangan ekonomi Islam. Hal ini merupakan sebuah kemestian yang harus terpenuhi sebagai fardhu kifayah untuk keseluruhan anggota masyarakat dan bangsa, sebagai the first best choice
Andai prakondisi tersebut susah untuk dipenuhi, setidaknya saat ini, kita memerlukan pembagian tugas antara penguasaan major dan minor untuk salah satunya dalam rangka memenuhi the second best. Para akademisi dari kalangan PT Agama Islam yang relatif menguasai Syari’ah, mereka diharapkan segera membekali diri dengan teori ekonomi konvensional, agar argumentasi ilmiahnya tidak terlalu tertinggal dengan para ekonom; sementara di sisi lain, para ekonom Muslim mulai membekali diri dengan pengetahuan Syariah dan fiqh, untuk menopang argumentasi yang dibangunnya. Disinilah esensi bekerjanya proses Islamisasi ilmu ekonomi yang akan berujung pada Islamisasi perekonomian.
Sekalipun pada tahap awal muncul kecurigaan bahwa bukannya Islamisasi ekonomi malahan sebaliknya justifikasi terhadap praktek-praktek ekonomi konvensioanl, sebagaimana kritik Ziauddin Sardar terhadap proses Islamisasi pengetahuan yang dilancarkan oleh Ismail al-Faruqi maupun Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Pada tahap awal tampaknya memang demikian, namun ketika proses ilmiah yang dilakukan telah berlangsung cukup lama, ditambah dengan penemuan-penemuan empirik yang mendukung terbangunnya sebuah sistem keilmuan Islam yang bergerak dalam bidang ekonomi semakin mendapatkan momentum yang menguntungkan, maka akan terjadi sebuah transisi dari situasi the second best menuju ke the fisrt best.
Perkembangan terbaru di dunia ilmu menunjukkan bahwa ekonomi Islam telah semakin mendapat pengukuhannya. Serangkaian seminar, simposium, lokakarya dan sebagainya telah berkembang pesat sejak hampir tiga puluhan tahun terakhir di peringkat internasional, berlangsung baik di negara-negara barat seperti Amerika dan Eropa, maupun di negara-negara Muslim seperti di Timur Tengah dan di anak benua India dan Pakistan, sementara kita di Indonesia terlambat sekitar sepuluh atau bahkan dua puluh tahun.
Seminar internasional ekonomi Islam secara monumental dilaksanakan pertama kali di Jeddah tahun 1976 yang merekomendasikan dibentuknya Center for Research in Islamic Economics (CREI) yang menginduk pada Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. CREI kemudian menerbitkan jurnal berkala yang diberi nama Journal of Research in Islamic Economics (JRIE) dan sejumlah penerbitan lainnya. Beberapa tahun kemudian sejumlah lembaga-lembaga sejenis juga didirikan bagai jamur di musim hujan.
Di Indonesia sendiri, sebenarnya telah dirintis oleh Departemen Agama suatu kajian tentang “Islam dalam Disiplin Ilmu.” Akan tetapi kajian ini sekalipun menjadi materi wajib dalam kuliah Agama Islam, tidak memperoleh sambutan yang memadai, mungkin disebabkan kurangnya rujukan-rujukan yang bersifat teoretik.
Fase berikutnya, ekonomi Islam bukan saja menjadi bahan diskursus lepas di negara-negara tersebut, melainkan telah menjadi bagian dari kurikulum pendidikan ekonomi dan keuangan atau perbankan. Keuangan dan perbankan merupakan sektor paling pesat kemajuannya berikutan dengan pendirian bank-bank Syari’ah sejak tahun tujuh-puluhan. Diantara momentum sejarah paling bermanfaat bagi pengembangan ekonomi Islam adalah didirikannya Bank Pembangunan Islam (IDB) yang disepakati oleh Dana Moneter Internasional (IMF) pada pertengahan tahun delapan puluhan.
Dalam perspektif ilmiah serta kaitannya setidaknya terdapat tiga alasan mengapa ekonomi Islam selama beberapa dekade mendatang masih berada dibawah pengaruh ekonomi konvensional.. Pertama, sesuai dengan “definisi” yang banyak dianut oleh para ekonom sebagai “kajian ekonomi yang berbicara tentang Islam,” maka ia akan terus menjadi “subordinat” atau bagian dari ilmu ekonomi konvensional. Timur Kuran, seorang pemikir ekonomi Islam dari Turki berpendapat, ekonomi Islam merupakan sub-divisi dari ilmu atau kajian ekonomi, sehingga akan tetap dibawah bayang-bayang perkebangan ilmu (dan juga sistem) ekonomi konvensional.
Kedua, lahirnya ekonomi Islam adalah berkembang sebagai sebuah respon atau reaksi dari ketidak-adilan penerapan ekonomi konvensional yang telah mapan, maka kehandalan ekonomi Islam dalam memberikan solusi alternatif terhadap masalah sosial-ekonomi masih dipertanyakan.
Ketiga, dalam kenyataan sekarang, para ekonom Muslim memperoleh training dan pendidikan dari Barat. Mereka memperoleh status sosial yang lebih tinggi dibanding para ilmuan agama yang mencoba memberikan solusi soial-ekonomi dalam masyarakat. Ini antara lain juga disebabkan ketiadaan alat analisis matematika, statistika, dan sebagainya yang dimilikioleh para pemikir agama tersebut
Bila ketiga kecenderungan ini dibiarkan, maka keberadaan ekonomi Islam bukan saja tidak akan mampu memimpin, bahkan tidak akan dapat mengimbangi laju perkembangan ekonomi konvensional. Namun kita tidak perlu pessimis. Tampaknya penerapan teori Solow yang diperkuat dengan Mankew, Romer dan Weil tentang konvergensi dalam pertumbuhan dapat berlaku, dengan sejumlah catatan.
Bila dalam teori pertumbuhan konvergensi dapat berlangsung antara pertumbuhan negara-negar miskin yang mampu mengejar ketertinggalannya dari pertumbuhan di negara maju, maka teori konvergensi disini dapat dimengerti sebagai pengejaran ekonomi Islam terhadap ekonomi konvensional. Seperti diketahui bahwa laju perkembangan ekonomi Islam yang masih muda ini tampak relatif lebih dari pertumbuhan ekonomi konvensional, bila diukur berdasarkan pencapaian-pencapain teoretiknya. Ini dimungkinkan karena peminjaman berbagai alat analisa konvensional, utamanya neoklasik, sehingga keberadaannya dapat dikatakan sebagai “membonceng perjalanan perkembangan ekonomi konvensional”
Sementara negara-negara miskin mampu menunjukkan “kapabilitas sosial” untuk menyerap transformasi teknologi sebagai prasyarat utama menuju pada posisi catch-up dalam teori konvergensi pertumbuhan, maka dalam hal ini pula, ekonomi Islam dapat menunjukkan “kapabilitas ilmiah”-nya untuk menyerap alat analisa dari ekonomi konvensional.
Sebagai kesimpulan, terlepas dari kontroversi teori konvergensi dalam pertumbuhan ekonomi itu sendiri, perkembangan ekonomi Islam tampaknya kian menunjukkan arah yang memberi gambaran optimis kepada kita. Terutama setelah tampak tanda-tanda bahwa kemampuan dan kehandalan ekonomi konvensional mulai dipertanyakan dalam memberikan solusi atas berbagai krisis perekonomian dunia seperti yang terjadi khususnya di Indonesia dan Argentina. Sementara upaya pengembangan ekonomi Islam kian mendapatkan tempat di hati ummatnya. Wallahu a’lam. #

Tidak ada komentar: