Nikah Sirri, Korelasinya Dengan Hak-Hak Perempuan
Nikah idealnya merupakan peristiwa hukum, yang menimbulkan hak dan kewajiban antar mempelai. Namun dalam kenyataan, ada bentuk nikah yang tidak memperoleh SIM (ijin) dari pemerintah dan tidak mampu menimbulkan hak dan kewajiban. Antara suami dan istri yang sayogyanya berhak memperoleh payung hukum telah tercoreng dengan adanya cara-cara nikah yang tidak berdasarkan pada garis yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Nikah tersebut adalah nikah sirri (nikah yang tidak dituliskan). Fenomena ini sedang marak sekali diperbincangkan oleh masyarakat yang peka terhadap problem-problem sosial.
Nikah sirri merupakan produk nikah pada zaman dahulu (fiqh klasik), bila nikah sirri dilaksanakan pada zaman postmodern sangatlah tidak relevan dengan sistem hukum yang dibangun oleh epistemologi modern. Memang, menurut agama (Transedental Teologis) nikah sirri dianggap sah selama memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh agama. Namun, menurut hukum modern (Sosio-kultur) nikah sirri tidak sah. Artinya, nikah sirri tidak diakui oleh negara dan tidak memperoleh akte nikah dan tidak mampu mengakses hukum. Sebenarnya, hukum islam yang telah dipositivkan di Indonesia menggariskan bahwa, nikah harus dicatatkan kepada pegawai pencatat. Kenapa harus dicatatkan? Ini sangatlah relevan dengan maqshid al-Syari’ah (tujuan hukum), yaitu kemaslahatan ummat.
Nikah sirri tidak memperoleh akte nikah. Sehingga, dengan tidak adanya akta nikah, Hak dan kewajiban antara suami-istri tidak dapat terjamin. Karena sistem. hukum yang dibangun di Indonesia adalah hukum positif (hukum tertulis dari penguasa). Sebenarnya, bila kita jujur pada diri sendiri dan sangat peka terhadap keadaan sosial yang ada kemungkinan saat ini, kita akan menolak keberadaan nikah sirri. Banyak sekali efek negatif yang diakibatkan oleh nikah sirri, terutama yang menyangkut dengan hak-hak perempuan. Mulai dari akses hukum yang tertutup, hilangnya hak mewarisi dan rawan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Prosentase perempuan yang menggugat cerai yakni 49% dan 3% suami yang menceraikan korban. Dari angka gugatan cerai perempuan tersebut, 46,8% nya karena akibat dari nikah sirri yang dilakukan suami yang menyebabkan KDRT berupa penelantaran rumah tangga, sedangkan sisanya karena alasan lain. Dari 46,8% tersebut, 43,4% nya istri yang di nikah sirri mengajukan gugatan perceraian karena menjadi korban penelantaran.
Memang, dulu nikah yang tidak tercatatkan dianggap sah secara agama maupun negara. Seiring dengan kemajuan zaman, dan dinamisnya perubahan dalam masyarakat berdampak pada perubahan hukum. Dalam kaidah fiqhiyah menyebutkan bahwa “tidak dipungkiri bahwa, perubahan suatu hukum, disebabkan perubahan waktu dan tempat.” Dari kaidah ini jelas bahwa nikah sirri sudah tidak mampu menjamin hak-hak dalam berumah tangga.
Maka dari itu, sebagai ummat yang berjuang untuk kemaslahatan ummat, sangat berat menerima pernikahan dibawah tangan (sirri). Nikah yang notabenenya adalah ikatan yang kuat dan merupakan peristiwa hukum harus tetap dijaga. Hukum sangatlah penting dalam melindungi hak-hak antara suami dan istri. Agar memperoleh payung hukum, selayaknya menjadi ummat islam yang berbasis kemaslahatan ummat, dalam melakukan nikah harus dicatatkan.
#
animation
tentang penulis

- Musthofa'
- akhirat, neraka, Indonesia
- berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan
Selasa, 16 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar