Kepemimpinan Politik Yang Negarawan dan Bermoral
Oleh: Musthofa
Di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita membutuhkan kehadiran para pemimpin, baik pemimpin formal kenegaraan maupun informal. Ketiadaan pemimpin membuat masyarakat menjadi kacau, berseteru satu sama lain. Kehadiran mereka amat diperlukan, untuk mempersatukan dan mengelola berbagai potensi konflik yang ada, dalam bingkai kebersamaan sehingga menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan. Karenanya, disadari, betapa tidak mudahnya menjadi pemimpin.
Hal yang sama juga kita butuhkan dalam bidang politik. Pada saat ini kita berada di dalam era politik yang demokratis, dimana sistem politik ketatanegaraan, sistem pemilu, dan sistem kepartaiannya, sudah amat berbeda secara mendasar dibandingkan dengan era Orde Baru. Hal tersebut dimungkinkan karena, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami amandemen hingga tahap ke-4 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) padatahun 2002.
Hakikat Kepemimpinan
Apakah pemimpin (leader) itu? Dari berbagai literatur yang ada, dapat dicatat bahwa pemimpin adalah sosok yang, dengan segenap potensi dan kewenangan yang ada, mampu memotivasi, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin organisasi.
Secara teoritis terdapat dua pandangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan: darimana ia berasal. Pertama, teori genetik (genetic theory), yang menyebut bahwa pemimpin dan kepemimpinan ditentukan oleh faktor genetik (turunan). Kedua, teori yang mencatat pentingnya karakter/kepribadian (traits theory). Ketiga, teori pengaruh lingkungan (behavioral theory). Benarkah pemimpin dan kepemimpinan semata ditentukan oleh faktor genetik? Tidak sepenuhnya benar. Faktor genetik memang perlu sekali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana karakter kepemimpinan dapat hadir dalam sosok individu seorang pemimpin. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan seseorang juga ditentukan oleh seberapa besar pengalaman dan persentuhannya dengan lingkungan (sosial). Oleh sebab itulah, harus dipahami bahwa setiap individu memiliki potensi kepemimpinan, yang apabila diasah dan dikembangkan, maka ia akan tampil sebagai sosok pemimpin yang mumpuni di bidangnya.
Apa saja hal-hal yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin? Setiap pemimpin harus memiliki karakter dasar dan basic values kepemimpinan. Dalam perspektif agama Islam, disebutkan adanya empat sifat/karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, sebagaimana dimiliki oleh Rasulullah Muhammad SAW yakni sidiq (benar, jujur), amanah (terpercaya), tabligh (komunikator), dan fathanah (cerdas).
Sifat-sifat tersebut, selaras dengan prinsip-prinsip kepemimpinan modern, di mana setiap pemimpin harus, memiliki visi, di mana seorang pemimpin adalah manusia pembelajar, memiliki ide-ide besar yang visioner dan menjadi referensi utama bagi yang dipimpin. Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan (ability) dan kapasitas (capacity), antara lain: keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).
Seorang pemimpin juga harus memiliki integritas (integrity), yakni memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama). Dalam konteks model kepemimpinan, dikenal dua model, yakni, pertama, model kepemimpinan transformasional, yakni kepemimpinan yang mampu membawa organisasi kepada perubahan-perubahan dalam visi, strategi, dan budaya organisasi (kepemimpinan yang dinamis dan produktif). Kedua, kepemimpinan transaksional, yang cenderung mempertahankan kestabilan dan status quo dalam organisasi, ketimbang mempromosikan perubahan (kepemimpinan yang statis).
Politik terkait dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan (power). Politik dan kekuasaan adalah tujuan-antara (cara), bukan tujuan utama itu sendiri. Idealnya, kekuasaan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekuasaan tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri-sendiri. Kita juga mencatat, adanya kecenderungan manusia untuk, sebagaimana disinyalir Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Karena politik memiliki tujuan-tujuan mulia, yakni untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, maka insan-insan yang menjadi politisi haruslah didasari oleh suatu keterpanggilan. Jadi, politisi hadir karena keterpanggilan (bukan profesi), sehingga politik-kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran/ kesejahteraan rakyat dan tujuan-tujuan bangsa lainnya.
Karena politik merupakan panggilan dan memiliki tujuan mulia, maka konsekuensinya, setiap politisi harus memiliki visi politik yang kuat serta komitmen yang tinggi atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya; mampu memanfaatkan sumber daya politik yang ada secara optimal; bertindak berdasarkan kalkulasi politik yang rasional dan logis; serta mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan politik yang produktif (bukan kontraproduktif). Seorang politisi, dituntut untuk mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan segmen manapun.
Itulah, setidaknya gambaran ideal kepemimpinan politik. Di dalam iklim yang demokratis, tentu kepemimpinan politik juga harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang substansial.
Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional. Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan komitmen kebangsaan dan kenegaraan. Sikap tersebut yang menuntut para politisi dan untuk meminimalkan kepentingan pribadi dan kelompok, dan sebaliknya memaksimalkan kepentingan bangsa/negara yang lebih besar.
Sebagaimana dikutip dari Filosof Aristoteles di awal tulisan ini, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Mahasiswa IAIN Wlisongo
Jurusan Siyasah Jinayah angkatan 2007
#
animation
tentang penulis

- Musthofa'
- akhirat, neraka, Indonesia
- berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan
Rabu, 13 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar