animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Selasa, 01 Februari 2011

MELAWAN TRAFFICKING TIDAK CUKUP DENGAN UNDANG-UNDANG

Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan, sehingga Anak adam ini dibekali dengan sifat-sifat yang mendukung untuk itu, yaitu seperti akal untuk berfikir, kemampuan berbicara, bentuk rupa yang baik serta hak kepemilikan yang Allah sediakan di dunia yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Tatkala Islam memandang manusia sebagai pemilik, maka hukum asalnya ia tidak dapat dijadikan sebagai barang yang dapat dimiliki atau diperjual belikan, hal ini berlaku jika manusia tersebut berstatus merdeka. Tapi di zaman modern ini tidak ada manusia yang tidak merdeka.

Dewasa ini kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual atau biasa disebut dengan Human Trafficking, terutama pada wanita untuk perzinaan atau dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang baru dialahirkan untuk tujuan adopsi yang tentunya ini semua tidak sesuai dengan syari’ah dan norma-norma yang berlaku (‘urf), kemudian bila kita tinjau ulang ternyata manusia-manusia tersebut bersetatus Hur (merdeka).

Perdagangan manusia (trafficking in human) merupakan masalah yang sangat kompleks. Perdagangan manusia telah menjadi bisnis lintas negara, yang mempunyai jaringan sangat rapi, mulai dari tingkat lokal maupun internasional, yang sulit dipantau aparat. Berbagai upaya preventif telah dilakukan, namun hingga kini praktek kejahatan ini tetap berjalan terus.

Dengan lahirnya DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) penganiayaan secara fisik maupun mental, perbudakan, memperdagangkan orang dan mengeksploitasi orang lain, merupakan perbuatan yang disebut sadisme (kekejaman) dan pelanggaran terhadap nilai humanisme.

Dalam hukum Islam, trafiking, meski dalam prakteknya jelas lebih kompleks, bisa di-qiyas-kan dengan perbudakan. Upaya penghapusan perbudakan telah ada zaman Nabi Muhammad saw. Semangat menghapus perbudakan terus menggelora dalam literatur hukum Islam. Salah satu bukti yang sangat nyata adalah pilihan hukuman bagi pelanggar ajaran Islam adalah memerdekakan budak.

Perbudakan, dalam arti zaman jahiliyah, disepakati ulama untuk diharamkan. Tidak berarti perbudakan kemudian lenyap. Perbudakan era jahiliyah kini menjelma dalam bentuk trafiking atau perdagangan manusia untuk kepentingan bisnis prostitusi yang dikelola sangat rapi oleh jaringan mafia internasional. Sebagaimana perbudakan berbau seks yang terjadi pada masa Nabi dilarang yang disebutkan dalam QS: al-Nûr: 33



Artinya: “Dan orang-orang yang tidak (belum) mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah menganugerahinya kemampuan. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (untuk pembebasan dirinya) hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka menginginkan kesucian diri, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa memaksa mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa”.(Q.S. al-Nur:33).



Maka dengan memperhatikan ayat di atas, trafiking harus diharamkan, dan semua yang terlibat didalamnya berdosa. Pengharaman trafiking tentu bukan tanpa alasan. Akan tetapi pengharaman saja belumlah cukup. Bagi pelaku yang melakukan trafiking juga harus di beri sanksi yang dapat mencegah terulanginya perbuatan ini. Hukuman yang diberikan adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban pidana oleh pelaku. Sebab, di samping dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan karena merampas dan menodai hak-hak dasar manusia, juga mengancam dan merusak tatanan nilai yang dibangun ajaran agama seperti keadilan, kesetaraan, kemaslahatan. Nilai-nilai yang sangat penting dan menjadi dasar pijakan dalam upaya membangun hubungan kemanusiaan ideal.

Hadirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2007 merupakan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan manusia.

Kata “trafiking” dewasa ini sangat populer. Setelah UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) diundangkan pada tanggal 19 April 2007, jelaslah sudah trafiking adalah perdagangan orang, yakni:



serangkaian tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Pasal 1 Ayat 1).

Meski sanksi pidananya sangat jelas, penjara 3-15 tahun dan denda Rp. 120 - 600 juta (Pasal 2-6), namun angka trafiking tidak menunjukkan penurunan. Dalam pasal 7 ayat (1) menyebutkan Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Ayat (2) menyebutkan Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Trafficking atau perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak merupakan jenis perbudakan pada masa modern telah menjadi isu besar yang menjadi perhatian regional dan global. Diperkirakan tiap tahun ada dua juta manusia diperdagangkan di dunia ini dan sebagian besarnya adalah anak dan perempuan.

Dalam kacamata hukum islam, hukum diturunkan, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia. Hukum ada bukanlah untuk dirinya melainkan untuk kehidupan manusia di dunia. Maka dari itu, agama islam membawa ajaran yang memiliki dinamika yang tinggi. Hukum-hukumnya berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas. Indonesia menjadi pemasok utama jaringan perdagangan perempuan dan anak dengan tujuan eksploitatif; pelacuran dan pornografi, pengemis, pekerja rumah tangga, perdagangan obat terlarang, pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan dan perkawinan trans -nasional.[5] Hadirnya UU No. 21 Tahun 2007 ternyata tidak mengurangi kegiatan trafiking. Harus ada cara yang efektif dalam menanggulangi aktivitas biadab ini. Pertama melalui pendidikan tentang trafficking di sekolah-sekolah, kedua perbaikan ekonomi yang mampu dirasakan rakyat kecil, ketiga pengawasan ketat oleh masyarakat dan pemerintah terhadap penyalur tenaga kerja. #

Tidak ada komentar: