Menggugat Prilaku Hukum Positif
Segala yang ada pasti memiliki cosmologi-nya masing-masing. Semua itu memiliki dasar filosofis yang dijadikan sebagai paradigma berprilaku. Begitupun hukum, hukum timbul dari prilaku masyarakat bukan dari siapapun atau apapun. prilaku masyarakat yang akan menentukan bagaimana hukum itu seharusnya dijalankan dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan. Bila sebuah hukum sudah dipaksakan maka akan timbul sebuah anomali dalam masyarakat. Selain itu akan terjadi cultural shock (kegoncangan sosial) karena masyarakat tidak terbiasa dan beda dengan filosofi tersebut. Seperti halnya dengan hukum yang dipakai bangsa indonesia tidak mencerminkan nilai-nilai pancasila. Seharusnya hukum haruslah bersumber pada semboyan pancasila, “Bhineka Tunggal Eka”(berbeda-beda tapi tetap satu). Inilah yang seharusnya menjadi dasar hukum bagi bangsa ini. Tapi kenyataan yang terlihat adalah sangat jauh dari nilai filosofis yang telah digariskan oleh pancasila. Hukum yang diaplikasikan adalah hukum positive warisan abad XIX dari belanda yang bersifat individual, liberal dan matrialis. Pelopor dari aliran ini adalah Hans Kelsen.
Hukum positif itu hukum yang serba tertulis dan dapat dilihat oleh panca indra yang dibuat oleh kekuasaan kepada semua orang. Hukum ini lambat laun menggerogoti hukum yang telah mapan yaitu hukum adat (living law) yang berakar dari sosiologis bangsa ini. Kalau dipandang dari kacamata sosiologi hukum, hukum positif belum mampu menjawab problema kemasyarakatan. Banyak sekali kasus yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas, yang ada hanyalah pencarian mana yang kalah dan mana yang menang. Padahal orang yang melakukan kejahatan telah nyata-nyata bersalah dan patut dihukum. Tapi kenyataannya banyak yang lepas dari jeratan hukum. Itu dikarenakan hukum positive terlalu formal-prosedural. Akibat dari prosedural inilah menjadikan dalam penegakan hukum menjadi bias. Para penegak hukum hanya terjebak dalam formal-prosedural semata. dengan begitu hukum seakan-akan adalah undang-undang yang tertulis saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum positif cenderung bias dari rasa keadilan masyarakat. itu karena yang dijadikan dasar adalah prosedur formal sehingga keadilan tidak menjadi prioritas. Selain itu hukum positive juga, berdampak pada kecenderungan birokrat sesuka hati memanfaatkan undang-undang sebagai dasar untuk memperkaya diri. Hukum adalah undang-undang dan undang-undang adalah hukum. Ini adalah paradigma yang sangat kerdil dalam memahami hukum.
Dari perspektif sosiologis hukum positif belum mampu diterima masyarakat secara penuh karena tidak koheren dengan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat. Polemik yang sangat fundamental yang dihadapi bangsa ini. Aliran positivisme telah mengalir dan memaksa masyarakat bertekuk lutut dihadapan hukum tersebut. kecongkakan dan keserakahan negara bila hukum positif dijadikan sebagai standardisasi hukum bangsa ini. Nilai-nilai kebinekaan mau dikemanakan? kalau memang acuannya pancasila, konsekwensi logisnya hukum pun harus dari kearifan lokal, tapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.
Penulis juga tidak menafikan manfaat dari hukum positive ini, karena hukum positive dapat menjamin kepastian hukum. namun penggunaan hukum positif sangatlah parsial sekali dalam penegakan hukum. karena dengan hukum positive seakan-akan penyelesaian sudah final. Seharusnya diluar hukum positif harus digunakan juga hukum yang bermoral, melampaui batas-batas prosedural kalo memang dibutuhkan demikian. law in the making (hukum harus selalu dicari) jargon inilah yang seharusnya digunakan para penegak hukum. Sehingga dalam pencarian hukum ini, law inforcement dapat diwujudkan.
#
animation
tentang penulis

- Musthofa'
- akhirat, neraka, Indonesia
- berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan
Selasa, 16 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar