animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Senin, 09 November 2009

Dakwah Islam

PERAN DAKWAH DALAM INTERNALISASI NILAI-NILAI KEAGAMAAN UPAYA MEMBENTUK KEPRIBADIAN MUSLIM
oleh: Musthofa



I. Pendahuluan
Nabi Muhammad berdakwah bukanlah hanya menyebarkan agama secara formal an sich, melainkan membangun system social yang sedang hancur dengan dibekali oleh allah berupa wahyu (al-Qur’an). Dengan wahyu ini allah mengnginkan agar nilai-nilai agama yang tersirat dan tersurat di dalamnya mampu ditransformasikan oleh Muhammad.
Banyak sekali waktu itu orng-orang Kafir Qurays, Yahudi dan kelompok yang lainnya ditentang oleh Muhammad bukan karena mereka non-islam melainkan implikasi social yang mereka berikan ndalam kehidupan masyarakat. Disaat itu banyak sekali penindasan yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Qurays terhadap kaum lemah.
Berkaca dari kronologi sejarah dakwah rosulallah di atas, maka selayaknya ummat islam sekarang lebih bisa mengembangkan metode dalam berdakwah. Adapun yang berhubungan dengan dakwah adalah substansi yang akan di dakwahkan, da’inya dan metode dalam berdakwah. Yang menjadi focus pada makalah ini adalah menginternalisasikan nilai-nilai agama dengan memperkenalkan lebih dalam tentang ilmu alam yang bersifat qauliyah dan kauniyah.
II. Permasalahan
Dari latar belakang di atas, yang akan diangkat untuk menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah:
- Pengertian dan Macam-macam NIlai-nilai Keagamaan
- Upaya Internalisasi Nilai–Nilai Keagamaan melalui Ilmu Alam
- Bagaimana Kompetensi Kepribadian Muslim
III. Pembahasan
A. Dakwah dan Nilai-Nilai Keagamaan
1. Pengertian
Dakwah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim. Kewajiban ini tercermin dalam konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana tertuang dalam QS. Ali Imran ayat 104. Dakwah dalam amar makruf nahi munkar dapat di manifestasikan dalam penanaman nilai-nilai keagamaan terdiri dari dua kata yaitu kata nilai dan keagamaan. Nilai itu sendiri adalah hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu dikejar oleh manusia. Nilai juga berarti keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.
Dengan demikian nilai dapat dirumuskan sebagai sifat yang terdapat pada sesuatu yang menempatkan pada posisi yang berharga dan terhormat yakni bahwa sifat ini menjadikan sesuatu itu dicari dan dicintai, baik dicintai oleh satu orang maupun sekelompok orang, contoh hal itu adalah nasab bagi orang-orang terhormat mempunyai nilai yang tinggi, ilmu bagi ulama` mempunyai nilai yang tinggi dan keberanian bagi pemerintah mempunyai nilai yang dicintai dan sebagainya.
Sedangkan keagamaan adalah hal-hal yang bersifat agama. Sehingga nilai-nilai Keagamaan berarti nilai-nilai yang bersifat agama.
2. Macam-macam Nilai-nilai Keagamaan
Menurut Nurcholish Madjid, ada bebrapa nilai-nilai keagamaan mendasar yang harus ditanamkan pada anak dan kegiatan menanamkan nilai-nilai pendidikan inilah yang sesungguhnya menjadi inti pendidikan keagamaan. Di antara nilai–nilai yang sangat mendasar itu ialah:
a. Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan
Masalah iman banyak dibicarakan di dalam ilmu tauhid. Akidah tauhid merupakan bagian yang paling mendasar dalam ajaran Islam, Tauhid itu sendiri adalah men-satu-kan Allah dalam dzat, sifat, af’al dan hanya beribadah hanya kepadanya. Tauhid dibagi menjadi empat bagian,
1) Tauhid Rububiyyah yaitu men-satu-kan Allah dalam kekuasaannya artinya seseorang meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan, memelihara, menguasai dan yang mengatur alam seisinya.Tauhid rububiyyah ini bisa diperkuat dengan memperhatikan segala ciptaan Allah. Ilmu-ilmu kealaman disamping mempelajari fenomena alam juga dapat sekaligus membuktikan dan menemukan bahwa Allahlah yang mengatur hokum alam yang ada pada setiap benda.
2) Tauhid Uluhiyyah yaitu men-satu-kan allah dalam ibadah, segala perbuatan seseorang yang didorong kepercayaan gaib harus ditujukan hanya kepada Allah dan mengikuti petunjukNya.
3) Tauhid sifat yaitu suatu keyakinan bahwa Allah bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan dan mustahil bersifat dengan sifat-sifat kekurangan.
4) Tauhid Asma` yaitu suatu keyakinan bahwa Allah pencipta langit dan bumi serta seisinya mempunyai nama-nama bagus dimana dari nama –nama itu terpancar sifat – sifat Allah.
b. Islam, c. Ihsan, d. Taqwa, e. Ikhlas f. Tawakkal g. Syukur, h. Shabar.
B. Upaya Internalisasi Nilai–Nilai Keagamaan melalui Ilmu Alam
Internalisasi hakikatnya adalah sebuah proses menanamkan sesuatu. Sedangkan internalisasi nilai-nilai keagamaan adalah sebuah proses menanamkan nilai–nilai keagamaan. Internalisasi ini dapat melalui pintu Institusional yakni melaui pintu-pintu kelembagaan yang ada misalnya lembaga Studi Islam dan lain sebagainya. Selanjutnya adalah pintu personal yakni melalui pintu perorangan.
Denagn menanamkan nilai keagamaan melalui ilmu alam di harapkan ummat islam mampu mengoptimalkan rationya yang berpijak pada yauhid dalam mencapai kemajuan peradaban. Sehingga sendi yang dibangun islam adalah bukan sperti zaman modern ansic yang merupakan kesadaran sikap diotomis antara dunia profan dan sakral.
Dilihat dari segi sumbernya, pengetahuan mempunyai dua sumber yaitu pertama,sumber berupa ayat qur`aniyyah yaitu wahyu yang diturunkan dengan lambang bahasa lukisan dan kata yang terhimpun (al-Qur`an al-Tadwiny) Kedua, sumber berupa ayat kauniyyah yaitu ayat-ayat Allah yang terhampar dalam alam raya (al-Qur`an al-Takwiny). Sumber pertama melahirkan ilmu akidah, syariah dan akhlak sedangkan sumber kedua melahirkan ilmu-ilmu sosial, alam dan terapan yang rentan terhadap pertumbuhan kuantitatif dan pelipat gandaan.
Baik ayat qur`aniyyah maupun ayat kauniyyah mencakup gagasan atau pola dasar tentang semua kenyataan yang ada, keduanya tidak dapat dipisahkan. Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang memacu manusia untuk memikirkan dan meneliti berbagai fenomena baik yang ada pada dirinya maupun alam sekitarnya. Bahkan terhadap al-Qur`an sendiri manusia dituntut mengkajinya.
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. ( Q.S. Shaad : 29 ).

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman, Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini, dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal ( Q.S. al-Jasiyah : 3-5 )
Segala ilmu pengetahuan bersumber dari yang satu yakni Allah swt. Menurut Husain Nasr, hanya orang yang mampu memasuki dimensi dirinya yang paling dalam ang dapat melihat bahwa alam raya ini merupakan simbol dan realitas tembus pandang sehingga bisa memahami alam ini dalam arti yang sebenarnya.
Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Tuhan (tawhid). Doktrin keesaan Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma’il Raji al-Faruqi, bukanlah semata-mata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya. Ia mengatakan :
Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut :
Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid dan teologi. Yaitu teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam perihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya.
Dengan pandangan teologi yang demikian itu, maka alam raya, manusia, masyarakat dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Alam raya terikat oleh hukum alam (nature of law) yang dalam pandangan Islam adalah Sunatullah, aturan Allah dan ayat Allah. Alam raya ini selanjutnya menjadi objek kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sains) seperti ilmu Fisika, Biologi dan sebagainya.
Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertaqwa dan beribadah kepada Allah SWT. Hal ini penting ditegaskan, karena dorongan Al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan perhatian dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ketiga, reorientasi pengembangan ilmu pengetahuan harus dimulai dengan suatu pemahaman yang segera dan kritis atas epistimologi Islam klasik dan suatu rumusan kontemporer tentang konsep ilmu.
Keempat, ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal dengan kecerdasan moral yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.
Kelima, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral. Yakni, bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formulasinya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang merasa lebih unggul antara satu dan lainnya.
Sementara Abu Hamid al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua yaitu:
a. Ilmu syar’iyyah yaitu ilmu yang diperoleh melalui para nabi bukan melalui akal seperti ilmu hitung, bukan melalui ekperimen seperti ilmu kedokteran dan bukan melalui pendengaran seperti ilmu bahasa. Ilmu ini semuanya terpuji. Ilmu ini dibagi menjadi empat
- al-Ushul (pokok): al-Qur`an, al-Sunnah, Ijma’ Umat dan Tradisi sahabat baik berupa perbuatan maupun perkataan
- al-Furu’ ( Cabang ) : segala apa yang bisa dipahami dari sumber pokok, baik berkaitan dengan kemaslahatan dunia seperti ilmu fiqh maupun yang berkaitan dengan kemaslahatan akhirat seperti ilmu tentang seluk beluk kondisi hati
- Pengantar : yaitu alat untuk memahami sumber pokok seperti ilmu bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab masuk kedalam katagori syariat adalah apabila ilmu bahasa itu semata–mata untuk memahami syariat yang berbahasa Arab
- Penyempurna: yakni ilmu sebagai penyempurna terhadap sumber pokok seperti ilmu Qira`at, ilmu makharij al-Khurf, Ilmu Ushul Fiqh, ilmu tentang keadan para perawi dan sebagainya.
b. Ilmu bukan syar’iyyah yaitu setiap ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia. Ilmu ini bersumber dari pemikiran akal murni seperti ilmu hitung, bersumber dari hasil eksperimen seperti ilmu kedokteran dan bersumber dari pendengaran seperti bahasa. Ilmu ini dibagi menjadi tiga,
- Terpuji, yakni segala ilmu yang benar-benar dibutuhkan untuk kemaslahatan dunia.
- Tercela yakni ilmu yang bisa merusak diri sendiri maupun orang lain
- Mubah seperti ilmu syair, sejarah dan sebagainya.
Dilihat dari hukum pencariannya, ilmu dibagi menjadi
 Fardlu Ain, yakni ilmu dimana setiap muslim berkuwajiban mencarinya. Ilmu ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ilmu Tauhid, ilmu Sirr Dan ilmu syariat.
 Fardlu Kifayah yakni ilmu yang harus dikuasai oleh sebagaian masyarakat muslim dalam suatu daerah tertentu.
Ilmu pengetahuan secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiannya. Ilmu pengetahuan harus bisa mendorong pada pengakuan atas kemahabesaran sang Pencipta hingga membawa pada ketaatan dan ketundukan kepadaNya. Allah berfirman dalam Q.S. Fathir ayat 28,
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun ( Fathir: 28 ).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan tanda-tanda kebesaran kekuasaannya yang kemudian diikuti
Dalam hal ini Ali as-shabuny menafsirkan: hanya ulama yang mengenal Allahlah yang benar-benar, karena semakin sempurna pengetahuan terhadap dzat yang Maha Agung dan Maha Sempurna, maka akan semakin menimbulkan rasa takut kepada-Nya.
Sementara menurut Muhammad bin Ibrahim, Ilmu yang berpengetahuan namun tidak muncul rasa takut kepada Allah pada hakikatnya ia tidak seorang yang berpengetahuan.
Dari rasa takut kepada Allah itulah akan membawa pengaruh yang positif dalam diri manusia. Dengan sikap itu ia tidak akan terjerumus dalam kemaksiatan dan berbuat dosa. Dengan ilmu pengetahuan, seseorang dapat mengetahui watak alam, sementara mata hatinya menyadarkan bahwa alam yang dijadikan obyek sama –sama makhluk Tuhan yang mengisyaratkan sang pencipta yang Rahman dan Rahim.
Jalaluddin ar-Rumi Mengatakan, Bila kau terapkan ilmu pengetahuan pada jasadmu saja ia akan menjadi ular yang berbisa, tapi bila kau terapkan pada hatimu ia menjadi teman.
C. Kompetensi Kepribadian Muslim
Begitu pentingnya kepribadian, kepribadiang disini adalah seperti halnya kepribadian yang dimiliki oleh rasulallah, yaitu yang melekat menjadi sifat-sifat beliau (dapat dipercaya, jujur, amanah, dan cerdas). Oleh karena dalam menginternalisasi nilai-nilai agama haruslah memiliki kepribadian diatas.
Kepribadian pada hakikatnya adalah sesuatu yang sudah mempribadi, sesuatu yang menjadi bagian dari pribadi seseorang. Dalam hal ini, kepribadian hampir sama dengan akhlak. Sebagaimana kepribadian yang sudah mempribadi, akhlak demikian juga merupakan kondisi jiwa yang telah menjadi bagian dari seseorang sehingga menyebabkan seseorang berbuat tanpa lagi dipertimabangkan dan dipikirkan.
Ada dua jalan menurut Islam dalam membentuk kepribadian yang baik, Pertama, bersifat teoritis ( nadlary ) yakni melalui pengajaran, dan kedua,bersifat praktis ( amaly ) yakni melalui pembiasaan.
IV. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam berdakwah intinya adalah menenmkan nilai-nilai keagamaan agar setiap orng memilki sifat dan sikap yang yang diharapkan oleh al-Qur’an dan Hadist. Dan salah satu cara dalam menginternalisasikan nilai-nilai islam adalah dengan mengajarkan ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah. Itu dimaksudkan setiap manusia agar sadar bahwa setiap geraknya merupakan dari tuhan sehingga mampu mempengaruhi sikapnya dalam masyarakat.
V. Saran
Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan makalah ini mengenai Peran Dakwah Dalam Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan Upaya Membentuk Kepribadian Muslim. Tentunya dalam pemaparan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi maupun segi metodologi istinbat hukum. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin




Daftar Pustaka

 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alvabeta, 2004).

 Nurcholish Majdjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta, 2000.

 Abdul Wahid hasyim, Dasar-Dasar Aqidah Islam, 1424 H.

 R.H.A. Soenarjo, al- Qur`an dan terjemahnya, Semarang, CV Alwah, 1993.

 M.Dawam raharjo, Konsepsi Manusia menurut Islam, Pustaka Grafiti Pers, 1987.

 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003.

 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Semarang, Maktabah Usaha Keluarga, t.th.

 Abu Hamid al-Ghazali Minhaj al-Abidin, al-Nur Asiya, t.th.

 Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwah al-Tafasir, Dar al-Fikr, t.th.

 Muhammd bin Ibrahim,Syarh al-Hikam, Syirkah Nur Asiya.

 Fazlurrahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intellektual, Bandung, Pustaka 1985.

 Muhammad Said Mursi, Fann Tarbiyah al-Aulad Fii al-Islam, 1977.

 Ilyas Supena, Dialektika Epistem Bayani dan Burhani Dalam Ilmu Dakwah (Studi Atas Pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri), Jurnal Ilmu Dakwah Fakultas Dakwah Vol. VII, IAIN Walisongo: Semarang, 2007. #

Tidak ada komentar: