URGENSI MAQASHID AL-SYARI’AH SEBAGAI EPISTEMILOGI DALAM REFORMASI HUKUM ISLAM
oleh: Musthofa al-Aqli
I. PENDAHULUAN
Hukum islam diturunkan, pasti memilki tujuan untuk kemaslahatan manusia. Hukum ada bukanlah untuk dirinya melainkan untuk kehidupan manusia di dunia. Maka dari itu, agama islam membawa ajaran yang memilki dinamika yang tinggi. Hukum-hukumnya berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau melputi sasaran atau keadaan yang sangat luas, dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan ummat yang terus berkembang mengikuti perubahan tanpa bertentanga nilai yang digariskan oleh syari’ah.
Hukum islam atau syari’ah merupakan seperangkat norma dari tuhan, hukum Allah. Prinsip dan sumbernya pun berasal dari wahyu. Karena konsep ini berasal dari wahyu, maka para ahli fiqh sangat berhati-hati dan teliti bahkan cenderung ada yang takut dalam menangani perubahan hukum akibat perubahan waktu, tempat dan keadaanoleh karena itu, setelah para ahli fiqh berhasil membentuk system hukum islam yang mencakup tingkah laku manusia dan kemudian diikuti dengan pengekoran yang cukup lama membuat hukum islam terkesan kaku dan idak dapat memenuhi kebutuhan ummat.
Sehingga muncullah metode dalam beristinbat yaitu dengan menggunakan ushul fiqh dan qawaid fiqh sebagai filsafat hukum islam. Artinya dua metode tadi telah banyak memberikan ruang gerak dalam menggali teks yang dapat memebuhi kebutuhan ummat. Dari dua metode ini muncullah kajian kritis dengan pentingnya memformulasikan fiqh berdasarkan nilai-nilai esensialnya yang disebut sebagai maqashid al-syari’ah. Maka dari itu, banyak sekali perubahan hukum karena terbukanya maqashid al-Syari’ah ini sebagai salah satu epistemologi (sumber pengetahuan yang dijadikan pijakan) hukum islam.
II. PERMASALAHAN
Dari uraian dalam pendahuluan diatas maka permasalahan yang coba diangkat dalam makalah ini adalah:
a. Bagaimana Pengertian Epistemologi?
b. Bagaimana Konsep Maqashid al-Syari’ah Sebagai Epistemologi Hukum Islam
c. Bagaimana Kedudukan Maqashid Al-Syariah Dalam Reformasi Hukum Islam?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi
Ditinjau dari segi etimologinya, epistemologi berasal dari kata Yunani epistem dan logos. Epistem berarti pengetahuan dan logos berarti teori, uraian atau ulasan. Sedangkan menurut Harun Nasution dalam bukunya Filsafat Agama, mengartikan epistemologi: epistem berarti pngetahuan dan epistemolog ialah ilmu yang membahaas tentang, a) apa itu pengetahuan dan b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
Sedangkan Bakker yang dikutip oleh Muhammad Miska Amien mempersamakan epistemology dengan metodologi:
“metodologi dapat dipahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan, filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan metode ilmiah esuai dengan hakekat pengertian manusia. Dapat ditemukan kategori-kategori umum yang hakiki bagi seghala pengertian, jadi berlaku pula bagi bagi semua ilmu.”
B. Konsep Maqashid al-Syari’ah Sebagai Epistemologi Hukum Islam
1. Pengertian Maqashid Syari’ah
Secara bahasa (lughawi), kata maqasid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu, maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan syari’ah artinya adalah jalan menuju sumber air yang dapat diartikan sebagai menuju sumber pokok kehidupan. Dalam pereode awal, syari’ah sama sekali belum begitu banyak dicampuri oleh pikiran manusia. Dalam wujud seperti ini, syari’ah disebut sebagai al-thariq al-mustaqimah, muatan dalam arti ini mencakup aqidah, amaliyah dan khuluqiyah.
Pengertian maqashid al-syari’ah sebagaimana tersebut diatas agaknya mendorong para ahli hukum islam untuk memberi batasan syari’ah dalam arti istilah yang langsung menyebut tujuan syari’ah secara umum. Menurut Al-Syatibi yang dikutib oleh Muhyar Fanani menyebutkan bahwa Maqasid Syari’ah merupakan peran akal dan dapat menjadi sumber (epistemologi) sekunder setelah al-Qur’an dan al-Hadist. Al-ahkam masyru’ah li mashalih al’ibad (hukum disyatriatkan tuhan untuk mewujudkanm kemaslahatan hamba). Demikian élan vital yang dikembanmgkan al-syatibi.
kriteria kmaslahatan hamba ini adalah tegaknya kehidupabn duniawi untuk kehidupan ukhrowi. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang hanya mengandung kemaslahatan dunia tapi tidak membawa kemaslahatan ukhrowi bukanlah maslahat yang yang dimaksudkan sebagai tujuann syari’at. Konskwensi logisnya, perbuatan manusia haruslah terbebas dari nafsu karena maslahat tidak diukur dari hawa nafsu.
Jadi jelas bahwa Maqasid Syari’ah merupakan epistemologi atau sumber hukum, atau dasar pijakan yang digunakan oleh ahli fiqh dalam mengambil suatu hukum selain al-Qur’an dan al-Hadits. Atas pertimabngan rasional dan keadaan sosiologis.
2. Beberapa Bentuk Maqashid al-Syari’ah
menurut Al-Syatibi, yang dikutip oleh Muhyar Fanani menjelaskan dengan cara induksi (istiqra’) ada dua macam maqasid, yaitu maqasid asy-shari’ (Maksud Allah) dan maqashid al-mukallaf (maksud manusias).
Maksud al-shari’ ada 4 macama yaitu:
a. syariat diturunkan untuk kemaslahatan
b. syari’at untuk dipahami
c. syari’at untuk membebani manusia berdsarkan kemampuannya.
d. Sariat diturunkan agar manusia tunduk pada tuhan
Sedangkan maqasid al-mukallaf menurut al-syatibi adalah setiap perbuatan manusia tergantung pada niatnya, dan maksud mukallaf ada setiap perbuatan baik yang ibadah maupun adapt kebiasaan. Dan setiap perbuatan mukallaf adalah harus relevan dengan maksud allah.
Sedangkan Ahmad Azar Basyir memerinci tujuan hukum islam (maqashid al-syari’ah) menjadi tiga kelompok bebas, yaitu: pertama pendidikan pribadi, hokum islam mendidik pribadi-pribadi agar menjadi sumber kebaikan bagi masyarakatnya, tidak menjadi sumber keburukan yang akan menrugikan pribadi lain. Kedua menegakkan keadilan. Ketiga memelihara kebaikan hidup.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa islam dibangun di atas sendi-sendi dengan tujuan untuk menegakkan keadilan yang merata bagi seluruh ummat manusia, memelihara dan mewujudkan kemaslahatan seluruh ummat manusia.
C. Kedudukan Maqashid Syari’ah dalam Reformasi Hukum Islam
Dalam literature kontemporer, kata ”Pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan menggunakann kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, islah dan tajdid. Reformasi dalam kamus bahasa inggris berasal dari kata reformation yang artinya membentuk atau menyusun kembali. Menurut Harun Nasution, dia lebih menekankan kepada penyesuaian pemahaman islam sesuai dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan adanya perubahan ini, pasti menyangkut kemaslahatan manusia sehingga hukum pun harus sesuai kemaslahatan manusia pada waktu itu.
Perubahan kondisi social kemasyarakatan akan menyebabkan terjadinya perubahan tentang apa yang dipertimbangkan sebagai kemaslahatan dan keadilan yang ingin dicapai, dan merupakan tujuan hukum islam. Maka dengan sendirinya kenyataan terjadinya perubahan dalam mempertimbangkan hal-hal yang terjadi berkaitan dengan kemajuan zaman dan berubahnya kondisi kehidupan.
Pembaharuan hukum dalam islam sejalan dengan daya lenturnya hukum islam sendiri untuk mengikuti perubahan zaman. Banyak pernyataan dan kaidah dirumuskan untuk menjelaskan prinsip perubahan tersebut.
Dalam salah satu kaidah fiqh madzhab Hanafi terdapat kaidah:
Artinya: tidak dipungkiri bahwa perubahan hokum disebabkan perubahan waktu dan tempa.
Kaidah ini jelas-jelas terbukti secara empiris. Contoh yang kental adalah perbedaan ijtihad yang dilakukan oleh ilmuan fiqh dari ahli madinah dan ahli bagdad. Imam malik yang dekat dengan hadits nabi ijtihadnya cenderung bercorak didasarkan pada hadits nabi. Sedangkan Abu Hanifah yang jauh dari hadits cenderung lebih rasional.
Dalam kerangka perubahan hukum ini terdapat beberapa factor yang mempengaruhhi terhadap pola pikir fuqaha sehingga fatwa yang diciptakan pun mengalami perubahan. Faktor tersebut adalah:
1. Perbedaan Lingkungan
Perbedaan lingkungan memiliki pengaruh yang nyata dalam perubahan hokum. Mungkin contoh praktis adalah pertumbuhan dan terjadinya perubahan dalam fiqh, guna menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap hokum-hukum syari’at. Seperti yang dialami oleh syafi’I yang pergi dari Baghdad ke mesir banyak sekali perubahan-perubahan hokum yang dilakukan ol;eh beliau. Yang terkenal dari beliau adalah qaul qadim dan qaul jaded.
2. Pertimbangan Kepentinagan Umum
Kenyataan orang yang mengalami penyelidikan tentang syari’at islam akan menyadari betapa maslahat umum itu menempati kedudukan penting dan menonjol di dalamnya. Contoh kecil adalah Nikah sirri zaman dulu diperbolehkan namun sekarang Negara Indonesia tidak memperbolehkan.
3. Adat Istiadat
Seperti yang telah dikuti oleh Moh Hasan dari pendapatnya ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa dapat dilakukannya perubahan hokum bila adat atau kebiasaan berubah. Argumentasi yang dipakai olehnya adalah nash agama diturunkan berdasarkan kebiasaan dimasa yang lalu.
4. Illat dan Hikmah
a. Illat Hukum
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong (alasan-alasan logis) dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama ushul berupaya meneliti Nash al-Qur`an dan al-Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang yang mendasarinya (Causal - Connection). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘illat hukum atau Ta‘lîl al-Ahkâm (ÊÚáíÜá ÇáÃÍÜßÇã), yaitu teori ke-‘illat-an hukum. ‘illat yang dimaksud adalah merupakan alasan yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum tersebut.
b. Hikmah hukum
Hikmah hukum merupakan kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan kemudlaratan yang hendak diwujudkan oleh syari’at dengan mensyari’atkan hukum itu. Itu adalah merupakan tujuan dari syari’at yang paling agung.
Ciri-cirinya
1. tidak bergantung kepada hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Hal itu adalah kerena hikmah itu kadang-kadang berupa sesutau yang samar yang sulit untuk diketahui dan tidak dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah hukum.
2. Tidak terkontrol, dalam pengertian bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam kaidah-kaidahnya. Contohnya adalah seperti kebolehan berbuka puasa pada Bulan ramadlan. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kesulitan. Sedangkan kesulitan itu adalah sesuatu yang bersifat perkiraan yang tidak dapat dijelaskan kaidahnya. Karena itulah hukum itu tidak bergantung kepadanya. Tetapi bergantung kepada suatu yang jelas, yaitu bepergian (safar) atau sakit, karena jelasnya nash tentangnya.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat diambil pengertian bahwa hukum islam (syar’ah) diturunkan memiliki tujuan yaitu kemaslahatan untuk ummat manusia. Tujuan ini dapat dijadikan sebagai epistemologi dalam menggali hukum-hukum baru. Agar tujuan islam ini mampu tersampaikan maka perubahan dalam itu adalah sebuah keniscayaan untuk memenuhi kebutuhan umma. Yang menyebabkan perubahan hukum dapat berbentuk perbedaan lingkungan, pertimbangan kepentingan umum, adapt istiadat, illat dan hikmah. Dan yang perlu diperhaikan dalam perubahan hukum adalah sesuai nilai-nilai islam, tidak sesuka hati manusia.
V. SARAN
Sungguh kecongkakan dan kesombongan intelektual bila pemakalah menganggap pemaparan dalam makalah ini sempurna atau bersifat final. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini berkenan memberikan kritik yang konstruktif ataupun mendekonstruksi substansi maupun metodologi bila memang diperlukan. Demikian pemaparan makalah ini mengenai. Peran Maqashid Al-Syari’ah Dalam Reformasi Hukum Islam. Tentunya dalam pemaparan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi substansi materi maupun segi metodologi istinbat hukum. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kancah intelektual.Amiin.
Daftar Pustaka
- Aqil Said Siradj, 1993, Tradisi Pemahaman Fiqh di Pesantren, tp: Bina Pesantren,.
- Aspari Bakri, 1996, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
- Azhar Ahmad Basyir, 1984, Pokok-Pokok Persoalan Tentang Filsafat Hukum Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.
- Echol John M dan Muhammad Sadily, 1992, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia.
- Fanani Muhyar, 2008, Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh: Kajian atas Pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi, Jurnal Dimas, Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo: Semarang,. Vol VIII.
- Jaya Manan Abdul, 2007, Reformasi Hukum Islam di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legislasi dan Yurispudensi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,.
- Khasan Moh., 2008, Kedudukan Maqashid Syari’ah dalam Pembaharuan Hukum Islam. Dalam Jurnal Dimas. Vol. 8. Semarang: Pusat Pengabdian Masyarakat IAIN Walisongo Semarang,
- Muhammad Miska Amien, 1983, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Press,
- Nasution Harun, 1987, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang,
- Nasution Harun, 1986, Pembaruan Hukum Islam, Pemikian dan Gerakan, , cet. IV, Jakarta:Bulan Bintang
- http://zanikhan.multiply.com/journal/item/751
- http://imamuna.wordpress.com/2009/03/18/pelajaran-ketujuh-%E2%80%93-ushul-fiqih/
#
animation
tentang penulis

- Musthofa'
- akhirat, neraka, Indonesia
- berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan
Selasa, 27 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar