animation

tentang penulis

Foto saya
akhirat, neraka, Indonesia
berhenti tidak ada dijalan ini...berhenti berarti mati...lengah meski sekilas pasti tergilas......mereka yang maju merekalah yang bergerak kedepan

Senin, 22 Desember 2008

etka dan moral

Menumbuhkan Etika Dan Moral Pelaku Hukum dalam Melawan Korupsi


I. Pendahuluan
Menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN merupakan agenda reformasi. Agenda tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa pelaku hukum yang bersih dari bentuk-bentuk mafia peradilan. Dalam melakukan sesuatu, manusia pasti akan melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Karena manusia memiliki akal dan nurani. Kedua entitas inilah yang merupakan kendali bagi manusia dalam bertindak. Banyak sekali tingkah laku manusia yang telah melanggar etika bahkan sampai moral sekalipun. Contoh saja korupsi, yang telah membudaya di negeri ini.
Bahaya laten dari korupsi ini sangatlah berat dirasakan oleh rakyat. Pemerintah sendiri telah melakukan upaya-upaya agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Entah itu lewat sistem gaji PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan sistem perundang-undangan yang telah digunakan. Bahkan sudah tiga kali yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengubah Undang-Undang tentang korupsi. Namun dengan beberapa kebijakan dan perubahan itu tidak membawa ke arah yang lebih baik, malahan yang terjadi adalah sebaliknya, banyak sekali yang melakukan tindak pidana korupsi. Entah itu dari lapisan birokrat maupun budaya masyarakat itu sendiri. Seperti contoh:, tindakan Timtastipikor yang menahan ketua majlis hakim kasus dugaan korupsi PT Jamsostek dengan tersangka hakim Herman Alositandi bersama Djimmy Lunamauw yang dituduh memeras Wolter Singgalingging. Maka dari itu, dalam pemberantasan korupsi tidak serta merta oleh pemerintah namun dari pihak yang telah berbuat kebejatan tersebut.
II. Permasalahan
Dari tema yang penulis bahas dalam makalah ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan coba penulis pecahkan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
- Apakah pengertian dari Etika, Moral dan Korupsi?
- Apakah relevansi Etika, Moral dengan pelaku Tindak Pidana Korupsi?
- Sejauh manakah Etika dan Moral itu dipatuhi oleh para pelaku hukum?
III. Pembahasan
A. Pengertian Etika, Moral dan Korupsi
Etika
Kata “Etika”, berasal dari kata Yunani yaitu “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam ensiklopedi Britanica, “Etika” dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep nilai-nilai baik, buruk, harus, benar, dan sebagainya. Sedangkan “Etika” menurut Ahmad Amin adalah ilmu menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Moral
Sedangkan “Moral”, berasal dari bahasa latin yaitu “Mores” jamak dari “Mos”, yang berarti kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Dari uraian di atas sangatlah jelas bahwa manusia dalam bertingkah laku harus menggunakan etika dan moralnya. Meskipun etika dan moral kelihatannya sama namun sebenarnya terdapat perbedaan yang mendasar. Yaitu, etika merupakan lebih bersifat filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep. Etika juga bersumber dari akal fikiran manusia dalam menentukan baik dan buruk. Sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku dan berkembang di masyarakat. Moral juga norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta berlangsung dalam masyarakat.Etika dan moral akan selalu berada dalam diri manusia selama manusia itu menggunakanakal dan hati nuraninya di dalam setiap bersikap dan bertindak.
Korupsi
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “Korupsi” (dari bahasa latin “Corruptio”= penyuapan; “Corruptore”= Merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahkan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan. Baharudin Lopa menyebutkan bahwa istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan memanipulasi di bidang ekonomi dan menyangkut bidang kepentingan umum. Sudarto menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:
a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. “Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil pemindah bukuan, menandatangani kontrak dan sebagainya sehingga menambah kekayaan.
b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum, “melawan hukum” disini diartikan secara formil dan materiil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik.
c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung telah merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dari uraian-uraian di atas, Korupsi sangatlah jelas telah memperkosa norma-norma yang telah ada. Karena itu merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan bukan sembarang orang.


B. Relevansi Etika, Moral dan Pelaku Tindak pidana Korupsi
Pelaku yang dimaksudkan disini adalah meliputi pemerintah, penegak hukum dan “masyarakat”. Ketiga komponen inilah yang akan mewarnai hiruk pikuk hukum itu sendiri. Baik etika maupun moral, itu sangatlah penting diperhatikan oleh para pelaku hukum dalam menjalani kehidupannya. Karena dengan etika dan moral kehidupan akan menjadi lebih baik. Kedua entitas ini menjadi penilai dan menimbang apa yang seharusnya dilakukan oleh pelaku hukum. Etika menghidupkan akal fikiran sedangkan moral adalah membiasakan pelaku hukum dalam koridor norma yang hidup dalam masyarakat. Prof. Satjipto Raharjo, SH. Pernah berkata.
”Wahai bangsa tercinta, marilah membangun prilaku hukum msecara otentik dan baik lebih dahulu, sebelum memasuki kehidupan bernegara hukum”.

Tidak dipungkiri bahwa apa yang telah dilakukan oleh para penegak hukum dana Pembuat hukum adalah warisan dari kolonial belanda. Itu ditandai dengan setiap membuat Undang-Undang selalu ditekankan oleh negara terhadap rakyat. Belum ada kontrak yang jelas antara rakyat dengan pemerintah. Oleh karena itu etika dan moral pun tidak menunjukkan kearifan lokal bangsa Indonesia.
Dengan matinya etika dan moral para pelaku hukum di negeri ini, akan cenderung terjadinya sifat hayawaniah. Tidak dipungkiri condong ke arah yang prilaku negatif. Sebut saja korupsi yang menyengsarakan hajat hidup orang banyak. Berbicara etika dan moral memang bersifat person atau perorangan. Kami berharap para pelaku hukum menghidupkan kembali akal dan hati nuraninya dalam berhukum. Sudah banyak sekali kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh negara agar tindak korupsi dapat berhenti, namun kenyataannya korupsi malah kian menjadi-jadi. Ini mengindikasikan bahwa etika dan moral telah dilanggar. Sebenarnya kalau memang para pelaku hukum komitmen terhadap etika dan moral yang telah ada suatu kejahatan tidak akan pernah terjadi. Bahkan korupsi yang sangat membahayakan sekalipun tidak akan terjadi. Selama pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan sebagai usaha preventif terhadap terjadinya tindak pidana korupsi tidak dibarengi oleh pelaku hukum yang lain maka kebijakan-kebijakan itu hanyalah sebagai retorika saja, tidak ada dampak positif yang konkrit dan dirasakan oleh masyarakat.
Pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan di sisi substansi perundang-undangan, struktur peradilan dan budaya masyarakat itu sendiri yang berpijak pada etika dan moral. Mengatur pengembalian kerugian negara dengan program jaminan sosial bagi masyarakat miskin, memperkuat sistem pengawasan baik internal maupun eksternal, sistem yang terbuka.
C. Kepatuhan Pelaku Hukum Terhadap Etika dan Moral
Penegak Hukum
Kita lihat dari penegak hukumnya, sekarang ini, yang timbul dalam masyarakat Indonesia adalah terlalu banyak terjadi diskriminasi terhadap pelaksanaan hokum atau tebang pilih, sehingga asas equal justice under law hanya menjadi lips service para penegak hukum, lebih-lebih banyaknya kasus-kasus kakap yang gagal dalam penanganannya, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan, bahkan dibentuk lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya seperti KPK tidak memberikan efek jera terhadap koruptor kelas kakap di negeri in . Hukum bukan saja sebagai alat untuk mencapai keadilan, tetapi hukum ada dalam rangka untuk menciptakan stabilitas dalam masyarakat, oleh karena itu dalam penerapan hukum tidak hanya bersandarkan kepada aspek undang-undang sebagai patokan dalam supremasi hukum, tetapi moralitas penegak hukum.
Di negara Indonesia ini hukum seakan-akan di bawah penguasa (law of rule) padahal seharusnya hukum ditempatkan di atas segala-galanya (rul of law). Menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN merupakan agenda reformasi. Agenda tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa sistem peradilan yang bersih dari bentuk-bentuk mafia peradilan. Praktek-praktek tersebut mengakibatkan tidak independen, diskriminatif, mahal dan mempersulit pencapaian keadilan. Untuk itulah mafia peradilan harus diberantas secara tuntas. Pemberantasannya dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan di sisi substansi perundang-undangan, struktur peradilan dan budaya masyarakat itu sendiri. Mengatur pengembalian kerugian negara dengan program jaminan sosial bagi masyarakat miskin, memperkuat sistem pengawasan baik internal maupun eksternal, sistem yang terbuka.
Pada tingkatan struktur aparat penegak hukum dan kelembagaan peradilan harus didorong upaya-upaya pembaruan di lembaga-lembaga peradilan melakukan perbaikan dalam mekanisme pendidikan dan rekruitmen aparat penegak hukum, serta sanksi yang tegas terbuka dan jelas terhadap segala penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum di negeri ini, maka menjadi suatu kewajiban kita bersama untuk mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat terutama ahli-ahli hukum sehingga cita-cita hukum yang ideal dapat tercapai dan memberikan keadilan. Aristoteles menegaskan bahwa hanya apabila hukum yang menjadi sumber kekuasaan, barulah pemerintahan penguasa akan terarah bagi kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum.

Pmerintah
Sedangkan bila kita pandang dari aspek pemerintah sendiri banyak sekali yang terjerat kasus korupsi. Meskipun ada yang tidak melakukan kejadian tersebut, itu mengindikasikan bahwa pemerintah telah gagal dalam mengemban amanah rakyat. Sehingga stigma rakyat pada pemerintah adalah negatif. Banyak sekali kejadian-kejadian yang membuat rakyat tidak percaya dan bahkan kecewa dan muak dengan pemerintahan yang ada. Pemerintah yang seharusnya sebagai contoh dan bapak bagi rakyat malah memberikan contoh yang seharusnya tidak pantas dilakukan. Seperti kasus yang menimpa sejumlah DPR di negeri ini, yaitu yang sedang hangat-hangatnya yaitu kasus Al-amin Nasution yang terlibat kasus penggelapan uang hutan lindung. Dan tentunya kasus yang menimpa Akbar Tanjung yaitu dugaan penggelapan dana Bulog, serta kasus korupsi DPRD Sukoharjo yaitu Bambang Riyanto yang menelan biaya APBD 2001 sebanyak Rp. 508,5 Juta pengadaan sarana transportasi anggota DPRD.
Dari uraian-uraian di atas sungguh sangatlah jelas sekali bahwa apa yang dilakukan oleh birokrasi negara ini telah mengindahkan etika dan moral. Sehingga diharapkan kepada setiap pelaku hukum agar menggunakan akal dan hati nuraninya dalam setiap melakukan sesuatu.
Budaya “Masyarakat”
Dari sudut pandang “masyarakat” sendiri, masih ada yang melakukan tindakan yang sebenarnya tidak patut dilakukan. Banyak terjadi kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan dan sangat merugikan rakyat. Diantaranya adalah:
1. PERTAMINA, Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
2. Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
3. Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
4. HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young, Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.
Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.
5. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
Korupsi, penyebab Utamanya Moral, sudah merosot tajam, karena sudah mengalami distorsi. Oknum2 ini sudah tidak mampu lagi mengenali kembali jati diri sendiri, tidak mau berusaha mengubah mentalitas yang kaku, tidak berniat menghapus segala pandangan yang salah dan menyumbangkan pandangan yang benar. Keras kepala karena mentalitas sudah sangat melekat dengan ketamakan dan tidak sadar telah mengingkari hati nuraninya, para oknum tdk lagi mau menjalankan system yg ada dengan ideal dan harmonis sehingga tidak berjalan dengan baik.
Keadilan adalah sebuah impian, terutama pada negara yang tingkat korupsinya tertinggi di dunia atau sebuah negri yang birokrasinya kedap dengan bau KKN. Adalah kelumpuhan hukum yang membikin penjahat kemanusiaan bisa bebas dari jeratan pengadilan. Begitupun mereka yang ketahuan mencuri uang negara tapi masih diberi kesempatan dan kebebasan menikmati hidup. Sistem kekuasan, “masyarakat” dan penegak hukum yang telah mematikan nurani dan moral.
IV. Penutup
A. Kesimpulan
Pada dasarnya terjadinya semua peristiwa negatif tidak terkecuali korupsi adalah sebagai akibat dari terjadinya Gradasi Moral, menurunnya etika dalam bermasyarakat. Etika atau moral yang selama ini menjadai dasar terbentuknya hukum. Jika etika atau moral menjadi buruk, maka akan berakibat pada prilaku-prilaku buruk. Baik prilaku perorangan, kelompok maupun pejabat negara. Gradasi moral sangat tampak pada sepuluh tahun terakhir ini di indonesia, sehingga menjdikan negara ini menjadi negara tanpa hukum sebagaimana yang dijelaskan Artedjo Alkostar dalam bukunya yang berjudul, Negara tanpa Hukum Catatan pengacara jalanan. Dari berbagai pendapat filosof tentang berbagai etika dapat ditarik kesimpulan bahwa etika memiliki:
- sebagai suatu ilmu, dapat dijadikan sebagai himpunan teori yang dapat dipraktekkan dalam masyarakat dan menjadi norma yang mengikat
- sesuai dengan ajaran Aristoteles yang telah menggariskan bahwa tugas utama etika adalah untuk menemukan kebenaran tentang masalah moral.
B. Saran
Demikian makalah yang telah pemakalah paparkan tentunya masih banyak kesalahan baik dari segi penulisan maupun segi substansi materi. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat amat pemakalah harapkan dari pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan pada makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua khalayak ramai begitupun bagi penulis sendiri, serta dapat menambah khazanah keilmuan tentang muamalah #

Tidak ada komentar: